infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN TNI Perlu Dilibatkan Dalam Penindakan Ancaman Terorisme Skala Tinggi

TNI Perlu Dilibatkan Dalam Penindakan Ancaman Terorisme Skala Tinggi

Banjarmasin – Komnas HAM sudah mengirimkan surat dan policy paper terkait Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme kepada Presiden dan DPR. Dari permintaan pelibatan dalam penangkalan, penindakan dan pemulihan aksi terorisme. Komnas HAM hanya merekomendasikan pelibatan TNI dalam penindakan ancaman (terorisme) skala tinggi.

“Aparat kepolisian tidak mampu menangani aksi terorisme skala tinggi,” kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia M Choirul Anam SH, dalam webinar Academic TV bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Sabtu (14/11/2020).

Anam menegaskan, bahwa dalam mengatasi ancaman terorisme di Indonesia, kerangka penegakan hukum pidana (criminal justice system) sudah tepat. UU No 5 tahun 2018 sudah mengatur secara komprehensif penanganan terorisme, mulai dari pencegahan, penindakan dan deradikalisi, termasuk pemenuhan hak korban terorisme.

“Rancangan Perpres ini berpotensi bertentangan dengan Undang-undang yang ada, menimbulkan tumpang tindih hukum, karenanya perlu diperbaiki,” katanya.

Sebagai saran, Komnas HAM menurut Anam pemerintah harus menjelaskan skala ancaman serius yang memungkinkan pelibatan TNI dalam penindakan, mengkoreksi ketentuan tentang sumber pembiayaan TNI dari anggaran non APBN, serta memastikan pengerahan TNI sebagai bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dilakukan berdasarkan kebijakan politik pemerintah, bukan langsung diputuskan oleh Panglima TNI.

Pembicara lain, Jalaluddin, M.Hum., Ph.D, Dekan Fakultas Syariah UIN Antasari mengingatkan perlunya hati-hatian dalam penugasan TNI mengatasi aksi terorisme. Jalaluddin menyatakan “Menugaskan TNI mengatasi aksi terorisme dinilai (publik) berlebihan, berpotensi mengganggu sistem peradilan pidana, mengancam HAM, demokrasi, hingga memiliki potensi tumpang tindih kewenangan dan tupoksi lembaga lain.”

Namun tidak bisa dipungkiri karena terorisme merupakan ancaman global dan ada tingkatan ancaman yang tidak bisa diatasi oleh aparat kepolisian, maka TNI perlu dilibatkan. Jalaluddin memberikan batasan menurut Hukum Humaniter Internasional, bahwa Pengaturan dalam Rancangan Perpres hendaknya diarahkan kepada penugasan TNI untuk terorisme di kawasan regional dan wilayahperbatasan, bukan untuk di dalam negeri.

 

Jalaluddin juga mengingatkan bahwa pelibatan TNI yang tidak diatur dengan hari-hati dan terbatas berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Hal ini berdasarkan pengalaman di masa lalu bisa berdampak terjadi stigma negatif terhadap negara dan embargo terhadap militer. Akibatnya persenjataan modern kita tidak bisa digunakan atau diperbaiki karena tidak ada suku cadangnya akibat embargo. “Sehingga perlu diatur ruang lingkup situasi tertentu untuk melibatkan TNI yang tidak menimbulkan persoalan,” katanya.

 

Dardiri, MA, Alumni Mc.Gill University Montreal dan Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran dalam paparannya menyatakan, pentingnya menjaga citra reformasi TNI dalam mengatur pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme.

“Pendekatan criminal justice model menempatkan terorisme sebagai pelanggaran hukum, sehingga diperlukan upaya penanggulangan melalui penegakan hukum. Pendekatan ini bersifat mengedepankan cara damai, akuntabel (disertai tuntutan laporan pertanggung jawaban), menjunjung prinsip HAM dan cenderung memperoleh legitimasi dari masyarakat,” katanya.

Kata Dardiri, pendekatan war-model memandang terorisme sebagai suatu aksi yang mengancam struktur politik dan eksistensi suatu negara, sehingga perlu diperangi. Akibatnya diberlakukan pendekatan yang dilakukan bersifat memusuhi (stereotyping the opponent), dalam bentuk deklarasi perang dan bertujuan untuk menang, memiliki tendensi utama menghabisi lawan dan dimungkinkan untuk terjadi dampak kerusakan (collateral damage).

 

“Pelibatan TNI hanya diperlukan sebagai dukungan terhadap Polri, dilibatkan berdasarkan subtantive measurement — tentang mengapa dan kapan harus dilibatkan. Sehingga memerlukan aturan koordinasi antar lembaga yang jelas tanpa mengganggu fleksibilitas strategi. Serta tetap harus mengedapankan prinsip menjunjug tinggi kehormatan dan kewibawaan TNI sebagai unsur pertahanan negara,” ujarnya.

 

Prof. Dr. H. Ahmadi Hasan, MH, Guru Besar Hukum Fakultas Syariah UIN Antasari menyatakan, bahwa perdebatan tentang pelibatan TNI yang pro mapun kontra merupakan dampak dari ancamannya  yang bersifat global. “Banyak kegiatan yang lebih memerlukan pelibatan masyarakat dalam pencegahan. Terhadap mereka yang sudah terpapar lebih baik dilakukan pendekatan persuasive daripada ditindak secara keras,” katanya. rel

Bagikan:

Iklan