Profesi Dokter dan Media Sosial
oleh: Pribakti B *)
Zaman sudah berubah. Sekarang eranya digital. Hampir segala kebutuhan hidup saat ini dapat terpenuhi dengan hanya satu sentuhan jari dilayar ponsel. Ada jutaan bahkan miliaran orang pengguna media sosial. Sebagian dari mereka justru lebih tertarik berinteraksi di dunia maya karena menganggap eksistensi bisa didapatkan dengan mudah dan cepat . Akibatnya kini banyak orang mulai menjajal untuk menjadi influencer.
Secara sederhana, influencer adalah seseorang yang bisa memberikan pengaruh di masyarakat. Mereka bisa merupakan selebritis , blogger, youtuber, seorang public figure yang dianggap penting di komunitas tertentu. Dalam hal ini termasuk seorang yang berprofesi sebagai dokter. Influencer biasanya banyak memiliki pengikut atau follower di media sosial. Tergantung dari konten yang diunggah dalam media sosial, yang jelas seorang influencer memiliki pengaruh dalam aktivitasnya.
Seorang pengikut atau follower bisa saja mengikuti seorang influencer karena sekadar menikmati kontennya sebagai hiburan, namun banyak juga influencer yang dianggap sebagai “panutan” sehingga segala informasi yang dibagikan dianggap layak untuk diikuti. Banyak yang berprofesi sebagai influencer dan menjadikannya sebagai lahan mencari rejeki.
Begitu juga teman-teman profesi dokter yang kemudian secara sengaja atau tidak sengaja menjadi influencer. Ada yang banyak pengikutnya karena konten-konten kesehariannya dianggap menarik, namun banyak juga yang sering diikuti karena sering memberikan informasi-informasi bermanfaat atau edukasi terkait dengan bidang ilmunya. Hal ini patut diapresiasi , karena mereka mengikuti perkembangan jaman dimana anak muda maupun dewasa banyak yang akrab dengan penggunaan media sosial.
Harus diakui media sosial semakin meningkat dengan cepat merevolusi budaya. Media sosial telah mempengaruhi signifikan yang tidak dapat disangkal . Dalam dunia kedokteran misalnya, muncul istilah Medutainment yang pada awalnya bertujuan mendidik mahasiswa kedokteran sedemikian rupa sehingga informasi lebih mudah diingat kemudian menjadikan pertemuan dokter sebagai sumber informasi untuk publik dalam lingkup medis.
Dari sisi pendidikan, ini menjadi sumber informasi yang berguna untuk masyarakat. Apalagi informasi dapat diakses dengan hanya satu sentuhan gawai , memberikan banyak peluang bagi dokter dan masyarakat untuk mendapat informasi.Sayangnya, tidak sedikit juga pengguna termasuk dokter menyeleweng dari kaidah etika profesi. Banyak diantaranya berlomba-lomba mengejar rating, kenaikan follower di media sosial dan ketenaran individu sebagai out put. Padahal yang terpenting adalah prosedur edukasi untuk masyarakat dengan tetap menjaga profesionalisme, kerahasiaan dan kepercayaan pasien yang tetap dijaga. Ketenaran hanyalah suatu hasil ikutan dari segala upaya terbaik yang dilakukan dan bukanlah tujuan utama, yang tak harus melangggar etik kedokteran
Sebetulnya tersangkut paut dengan etik , ada batas tipis dilematik antara mengedukasi dan memberi informasi dengan menampilkan diri sendiri dari dokter untuk pamer atas keberhasilan dan sebagai sarana publikasi mengiklankan diri. Tak jarang tertulis banyak opini atau unggahan baik bersifat positif maupun negatif saat suatu konten dilayangkan ke media sosial seperti hasil tindakan dokter before-after, memajang bagian tubuh orang, menampilkan potongan tubuh pasien hasil operasi yang semestinya tetap berpegangan pada azas etik keprofesian.
Oleh karena itu disaat derasnya arus informasi dan kebebasan secara kreatif berpendapat terbuka luas, maka peringatan “hati-hati” menjadi pilar yang harus selalu tertanam dalam kalbu dan pikiran seorang dokter. Ketika hendak menulis atau berbagi konten di media sosial baik sebagai informasi maupun upaya pamer yang sensasional ataupun sekadar untuk menarik perhatian publik. Sebab setiap publikasi konten di media sosial tentu akan di interpresentasikan masyarakat dalam multitafsir, bisa sebagai sumber informasi yang bermanfaat atau bisa juga seolah sebagai ajang seorang dokter mempertontonkan kehebatannya.
Menimbang juga bahwa tak lain tak bukan sosial media tempatnya “unjuk diri” maka digiring oleh faktor itu, seorang dokter bisa berpotensi tergelincir dari nilai-nilai profesi yang mesti dijaganya. Contoh branding diri (self branding) melalui media sosial. Kerap kali dilakukan oleh banyak profesi bahkan dokter juga . Semestinya cara branding diri perlu dibatasi dengan etika. Sebaiknya bila membranding kemajuan dan keunggulan profesi lebih diutamakan daripada mendorong branding diri individu, dimana unsur profesi secara kolegial akan berdampak massif. Bukankah secara nasional sangat strategis dalam membangun citra dokter Indonesia yang tidak kalah hebat dengan dokter asing? Branding diri sebenarnya dapat terbangun tanpa setting-an yaitu dengan menekuni bidang kedokteran yang dipilih, misalnya dokter spesialis bidang tertentu , itupun perlu ditonjolkan hal yang bermanfaat terutama untuk masyarakat dengan sikap yang lebih bijak dan strategis.
Akhirnya , mengingat posisi terhormat profesi dokter dari kaca mata masyarakat , maka membentengi diri dari pelanggaran seyogyanya patut dilakukan. Profesionalisme harus tetap terjaga melekat pada diri dan memperhatikan prosedur tata cara tindakan. Pondasi berupa azas etik dan pegangan prinsip tidak boleh terlupakan , yakni tidak memuji diri sendiri, menjaga marwah kehormatan pasien, menjaga privasi, apabila memang disetujui pasien harus ada perjanjian. Intinya tindakan harus dengan profesionalitas tanpa unsur senda gurau atau bermain-main. Sebab dengan memperhatikan dan menjaga standar etika kedokteran dalam upaya “branding” di media sosial , seorang dokter tak hanya membentengi dirinya dari kemungkinan pelanggaran etik, tetapi juga menjaga hubungan dengan teman sejawat, dan yang terpenting adalah melindungi hak dan kepercayaan pasien. Sepertinya sudah saatnya diperlukan regulasi atau panduan mengenai tata cara berinteraksi dalam memasukkan konten serta menjaga hubungan dokter-pasien di media sosial.
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin