infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Kagum Kepada Orang Indonesia

Kagum Kepada Orang Indonesia

oleh: PRIBAKTI B *)

Dulu waktu kita masih remaja, ketika patah hati karena ditolak cinta sang pujaan hati , makan terasa pahit dan minum terasa panas. Namun anehnya , kita menikmatinya walau dengan cara bersedih-sedih tanpa mau berhenti. Pahit dan panas bisa kita nikmati, hingga akhirnya terasa bagaikan manis dan adem. Begitu juga saat saya menempuh pendidikan kedokteran dulu. Saya diharuskan jaga dan bekerja di ruang mayat . Pada awalnya saya merasa terganggu dengan aroma busuk , tapi karena berhari-hari bergumul dengan mayat akhirnya akrab . Inilah bentuk lain dari proses adaptasi  sebagai manusia .

Begitu pula sebagai pencinta seni dan keindahan, saya pun sering diejek. Ini karena seni dan keindahan itu adalah hobi orang kaya yang sudah tak pusing soal sandang, pangan dan papan tiap harinya. Sementara kita tahu bangsa Indonesia , mayoritas masih bergelut dengan urusan makan minum sehari-hari, begitu kata seorang teman. Tapi karena dasarnya saya tidak pernah belajar ilmu sosial dan suka ngeyel, saya coba lawan ledekan teman itu dengan ilmu kesaktian. Maksud saya kesaktian yang telah dimiliki setiap orang Indonesia . Sebab di negeri ini jangankan orang miskin, lha wong yang sudah kaya raya pun masih juga tidak berhenti bermain silat dengan uang dengar, uang sogokan, uang saweran, uang mark up, uang sunatan dan uang kongkalikong proyek.

Tidak heran makin banyak yang bilang, betapa saktinya orang Indonesia. Ini terlihat dari tipe psikologi orang Indonesia itu sama sekali berbeda dengan orang non Indonesia. Orang Filipina misalnya , meski mereka tak begitu melarat rumahnya pasti berantakan, karena umumnya tak punya energi untuk membangun seni dan keindahan. Beda dengan kita orang Indonesia, biar miskin tetap estetis hidupnya. Bila dia bikin rumah atau gubuk sekalipun , selalu dengan tata etis yang amat diperhitungkan . Masih ada beberapa pot bunga ditaruh di depan rumah ,  ada hiasan lukisan pemandangan sawah di dinding rumah, ada pula yang menaruh gambar seorang kyai terkenal di ruang tamu, pokoknya sejuk .

Yang menarik adalah mulai berkembangnya gejala estetika dinamik dan alkoholic musik dangdut koplo di kalangan mereka. Ini bukan karena mereka pencinta musik dangdut koplo yang fanatik. Tapi sesungguhnya karena mereka butuh pelepasan dan pelarian dari kemelaratan sosial ekonomi pada rakyat umum. Dan yang saya ingat betul adalah yel-yel mereka : ”Pusing jangan lama-lama, bergoyanglah dengan dangdut koplo !”  Mereka tidak cuma bernyanyi, juga berjoget tipis-tipis  dengan lagu yang kini viral Ojo Dibandingke . Persis seperti yang dilakukan para petinggi-petinggi kita tepat di hari kemerdekaan bulan Agustus lalu . Dan sesekali , kalau rasa dosa sudah terlalu meningkat, datanglah mereka berduyun – duyun ke pengajian masjid terdekat , sekadar supaya rohani tidak terlalu sesak, katanya .

Maka bila ada waktu, coba mulailah Anda buka buku Antropologi Indonesia yang pernah terbit . Dari situ Anda akan tahu bahwa sebetulnya kunci perubahan besar peradaban Indonesia tidak bisa didapatkan di buku manapun, termasuk buku yang ada di perpustakaan dan di toko-toko buku terkenal. Tampaknya segala persediaan kerangka ilmu ”ogah merasa pusing” betul-betul menandakan bukti saktinya orang Indonesia.   Secara jujur, saya akui mereka itu sakti sebagai pribadi-pribadi , meskipun loyo sebagai masyarakat dan lembek sebagai rakyat.

Bagaimana dikatakan pribadi tidak sakti kalau penderitaan macam apapun bisa mereka atasi. Tidak ada rakyat di dunia ini seperti mereka. Saya kagum kepada orang Indonesia. Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia. Tentu karena rahmat-Nya , kasih sayang-Nya , perhatian dan barokah-Nya yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia.

Rata-rata orang Indonesia tetap memelihara senyum manisnya padahal dalam jurang kesengsaraan yang paling dalam sekalipun. Bahkan kalau perlu seberat apapun beban negara akan ditanggungnya. Mereka rela gaji bulanannya  dipotong pajak, padahal ketika mereka  lewat tol tetap harus bayar pajak. Begitu pula ketika nongkrong di kafe bayar , makan di mall , parkir, belanja di supermarket , semua bayar pajak . Belum lagi pajak bumi bangunan dan pajak kendaraan bermotor mereka bayar rutin tiap tahunnya. Luar biasa! Hanya orang Indonesia yang mampu mengantisipasi dan mensejajarkan setiap kesedihannya , kemudian menjelmakannya menjadi bukan kesedihan. Terkadang mereka memakai dimensi kultur, di saat lain mereka pakai dimensi tertentu dari agama.

Hebatnya pula, orang Indonesia bisa tertib antre saat mengambil  Bantuan Langsung Tunai (BLT) subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) di kantor pos. Mereka sangat sabar, sama sekali, tidak marah-marah apalagi protes lambatnya layanan. Mereka jadi penurut ketika dilarang pak RTnya untuk mengatakan bahwa pemberian BLT itu tidak mendidik. Mereka tidak lupa mengucapkan banyak berterima kasih  kepada pak RT yang mencatatnya sebagai warga masyarakat yang rentan kemiskinan. Pendek kata, bagi mereka BLT sungguh mengasyikkan .

Seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang  dan ala bisa karena biasa. Bila Anda masih juga belum percaya, masuklah ke pemukiman-pemukiman kumuh dan tanyakan pada mereka soal BLT. Pasti mereka akan mengatakan BLT sangat membantu, paling tidak untuk melunasi utangnya  terdahulu di warung tetangga sebelah . Dan seperti foto-foto mainstream  yang beredar di media sosial , mereka tidak lupa mengangkat  dua jari jempol soal BLT. Mereka juga akan mengatakan kepada setiap pejabat daerah  yang mengunjungi rumahnya . ”Ini baru bantuan joss, bung! BLT si penyelamat hidup! I love you full !”

Begitulah realita kehidupan  di negeri yang dulu disebut zamrud di khatulistiwa.” Pergaulan kita selama ini dengan ketidakenakan, kesengsaraan, ketidakbenaran, ketidakadilan, penyelewengan, korupsi, mark up, penyunatan uang birokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, serta apa pun yang kita gauli secara rutin sehari-hari seperti keringat kita sendiri. Dengan metabolisme kultural dan pembiasaan sistem-sistem yang berlaku , kita bisa atur bersama-sama sedemikian rupa sehingga kesengsaraan rakyat bukan kesengsaraan lagi, melainkan sebuah bukti kemakmuran.

Dan kalau ada orang yang mengatakan semua itu kesengsaraan, tiba-tiba ia tampak sebagai orang jahat atau setidak-tidaknya orang gila. Selama ini kita sudah bebal. Dan kebebalan kita sudah sangat serius. Kebebalan ini diderita juga oleh para pemimpin kita.  Kebebalan yang merata dalam kehidupan bangsa ini di semua segmen dan strata tidak mengurangi kebesaran bangsa kita. Dengan bekal kebebalan itu pula kita tetap besar. Oleh karena itu, kita tidak memerlukan kebesaran karena memang sudah besar. Entah besar apanya.

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan