infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Bijak Memaknai Hidup

Bijak Memaknai Hidup

oleh : Pribakti B *)

Jargon ini tampaknya sangat mengena sebagian besar manusia modern yang terjebak dalam rutinitas kerja menjemukan dan aktivitas yang itu-itu saja. Secara tak sadar, sedikit demi sedikit otak kita mulai mengerucut karena lama terjebak dengan pemikiran-pemikiran yang sempit. Saat kita tak lagi bisa memaknai hidup dengan hati dan logika maka selamanya kita akan terdampar dalam sebuah kehampaan. Akhirnya , kitapun menjadi manusia modern yang tak peka, tak berperasaan dan antisosial.

 

Mayoritas kita berprasangka bahwa uang banyak, jabatan dan status sosial tinggi merupakan jaminan kebahagiaan hidup. Namun apa yang terjadi? Justru teramat banyak orang – orang kaya, artis terkenal, pejabat elit dan tokoh masyarakat yang hidup dalam kegelisahan, stres dan bahkan sebagian nekat bunuh diri! Maka benarlah kata orang bijak,  mari kita kembalikan ketitik awal: sebenarnya niat kita hidup seperti apa?

 

Ini karena niat itu punya kekuatan luar biasa . Jika niat itu lurus sering membuahkan diluar dugaan. Sebaliknya niat yang ragu-ragu acap berujung jeblok. Atau, kalaupun dipaksakan, sering berakhir dengan tidak pas di hati dan ujung-ujungnya akan menyalahkan orang lain. Bisa membuat wajah ditekuk hingga dagu tak terlihat. Dan jika diingatkan bahwa cemberut itu tak sedap dipandang , jawabannya malah ketus.

 

Demikian juga dengan bekerja, bertetangga  dan berteman  sejatinya tak lepas dari niat. Niat untuk mengabdi, niat untuk menjalin persaudaraan atau apapun. Misalnya, bila kerjaan tak beres diingatkan karena kerja asal-asalan malah sewot. Padahal , yang namanya koreksi itu justru cambuk agar kita bisa berlari kencang. Atau kalaupun dimarahi tapi lantaran yakin kita dalam koridor kebenaran maka sambutlah dengan rasa terima kasih. Sebab itu justru membantu ketenangan kita, tak usah bete.

 

Di zaman modern ini kita cenderung nikmat untuk berilusi. Puas pada diri sendiri. Kita mungkin sadar memasuki api yang menyala, tapi belum menyadari akibatnya. Sering kali kesadaran itu muncul belakangan , setelah langkah terbentur kiri-kanan, setelah kayu menjadi arang. Seperti kebiasaan marah. Selama kita hidup pasti pernah mengalami marah.  Bahwa marah itu tidak nyaman . Bahwa nafsu marah  itu hanya akan membuat napas tersendat di leher dan badan serasa lemas . Bahkan tubuh jadi loyo, energi terkuras, kita juga tahu. Tapi nyatanya marah berulang terjadi dalam kehidupan kita. Maka benarlah kata orang bijak bahwa yang mampu mengatasi pertentangan antar terang dan gelap, baik dan buruk, kenikmatan dan rasa sakit, penghormatan dan penghinaan , dari dalam diri sendiri.

 

Irama hidup itu pula  yang mewujud dalam diri kenalan baru saya, namanya Markum. Ia sudah berjualan lukisan sejak zaman orde baru . Pria yang buta huruf  ini , hidupnya jujur kendati menyadari bahwa kehausan, tepatnya keserakahan manusia itu tidak terbatas. Ia tak mau mengambil milik orang lain. Jangankan untuk mengambil , urusan sumbang – menyumbang masjid menurutnya perlu kepantasan. Tidak asal nyumbang walau hati ikhlas.  Padahal seharian keliling berdagang, lukisan belum tentu laku. Hebatnya dengan puluhan lukisan dipundaknya, Markum bisa berjalan berkilo-kilometer jaraknya. Karena ia percaya pada Allah , TuhanNya yang tidak kelihatan, yang selalu menemani dan tidak pernah membuatnya sepi dan sendirian.

 

Hidup adalah realitas , tapi kebersihan hati adalah yang utama. Bagi Markum , hidup bukan hanya urusan perut tapi sebuah kepribadian tidak akan hilang setelah kematian. Ia yakin itu yang akan menyertainya di akhirat kelak. Tujuan hidup bisa rusak karena melayani perintah nafsu marah, serakah, khayalan dan sebagainya. Sebuah pepatah mengatakan , pikiran orang suci seringkali tampak terlalu bagus untuk hidup dan karena itu diremehkan manusia. Akibatnya seringkali ia tampak bukan bagian dari dunia ini.

 

Ungkapan ”Kamu sok suci!” sering terngiang di telinga  . Dituding bodoh karena menampik sogokan atau tak mau berkongkalikong. Problemanya – mungkin ini rahasia Illahi – seringkali  ketidakjujuran dan pikiran kotor itu justru membawa sukses besar seseorang. Sering secara kasat mata melihat dengan uang hasil Korupsi Kolusi Nepotismenya, dia  menjadi elite politik, menjadi konglomerat,  atau pejabat daerah . Tentu semua itu bukan salah orang suci tersebut,  melainkan kesalahan dunia yang terlanjur busuk. Tidak heran , kemudian bila semua orang seakan terobsesi bahwa keberhasilan materi adalah segalanya. Tapi yang menarik, belakangan ini makin banyak orang yang berpikir jernih mengangkat tangan. Adilkah semua ini? Entahlah. Pertanyaan itu sulit dijawab. ”Allah punya skenario yang tidak kita ketahui,”. Itu jawaban paling aman .

 

Kesimpulannya sederhana : hidup itu warna warni. Kadang-kadang orang yang sibuk mengembangkan mental dengan penyucian mental, harus melakukan pengorbanan-pengorbanan kecil, kegagalan-kegagalan kecil. Namun semua itu hanyalah proses menuju sesuatu yang subtansial, yang sangat berharga. Selain itu, kehidupan itu dipenuhi oleh refleksi . Jika bertemu dengan orang yang dipenuhi cinta, maka hati kita pun terrefleksikan oleh cinta. Pertemuan dengan orang-orang gelisah hanya melahirkan kegelisahan. Maka kepada sesama, yang terbaik adalah memberikan cinta, bukan kebencian. Yang pasti , waktu bukan kita yang punya. Kita hanya berlari didalamnya. Tak bisa kita genggam. Tak bisa kita ulang. Semoga banyak waktu untuk kita.

 

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

   

Bagikan:

Iklan