Wajah Politik Kita
Oleh: Pribakti B
Sebetulnya politik tidak dengan sendirinya kotor, tapi politik tak pernah menghindari kekotoran. Kalau perlu, berbuat kotor dan keji bukanlah sebuah dosa. Mungkin karena politisi memang bukan moralis. Ukuran moral dosa-pahala, halal-haram, luhur-nista, sukar diterapkan di dalam politik.
Meski demikian, tak berarti bahwa di dunia politik kita boleh berbuat apa saja. Kita tahu, dari luar dunia politik sering muncul kutukan dan sumpah serapah terhadap politisi yang membuat kerusakan tata nilai kehidupan. Kontrol publik yang tak pernah sekejap pun lalai, tetap tak berpengaruh. Seluruh media, yang setiap detik sepanjang siang dan malam menyorot, juga tak digubris sama sekali.
Keluhuran hidup mengatakan, apa yang mulia harus dimuliakan dan apa yang agung tak boleh dicampakkan begitu saja ke dalam kekotoran duniawi. Tapi kenyataan sehari-hari berkata lain. Moralitas hidup dimain-mainkan dengan keculasan yang terbungkus salam bahagia. Keculasan sering kali mengganti total segenap ketulusan.
Di sebuah dunia yang dikuasai oleh kaum politisi seperti di negeri kita ini Indonesia , hidup penuh ironi dan kegetiran. Ulah politisinya menjadi beban dan tanggung jawab seluruh warga negara. Pengertian mewakili kepentingan rakyat hanya menjadi basa basi yang tak pernah di panggul dengan segenap kesungguhan.
Kita menanggung rasa malu. Politisi tak peduli sama sekali. Mereka belum cukup dewasa untuk merdeka dan berkuasa. Sikap dan segenap tindakannya serba ugal-ugalan. Segala hal dijadikan persoalan politik yang membolehkan tindakan apapun dilakukan. Ya, kita dibuat semakin malu dan kecewa terus menerus. Kita seperti hidup di dalam sebuah laboratorium percobaan yang tinggal menyisakan sedikit harapan untuk berhasil. Boleh jadi malah lebih parah lagi: kita cermin laboratorium kegagalan.
Sejarah orde baru yang panjang dan membosankan dulu mungkin gambaran sejarah negeri yang salah urus dan salah langkah. Kita berjalan jauh tapi tujuan kita bernegara malah menjadi semakin jauh. Cara Orde Baru mengurus negara menjauhkan kita dari cita-cita bersama. Kita terlanjur percaya ketika jalan politik buntu , kita boleh menempuh jalan kriminal seperti cara hidup di dunia gelap bawah tanah. Ini moralitas politik yang kita terima sebagai warisan Orde Baru. Kelihatannya para politisi menerima warisan ini dengan khidmat , dan dengan penuh rasa bangga berbicara tentang cara membangun bangsa dan negara yang penuh sikap manipulatif.
Ungkapan “untuk bangsa”, apalagi “untuk bangsa dan negara” yang begitu melambung ke langit dan sering tak punya akar di bumi, memang hanya “gombal” tak berguna. Di balik kata itu tak mustahil ada penyelewengan kekuasaan . Makin sering ungkapan itu diperdengarkan kepada khalayak oleh orang “besar”, orang yang merasa dirinya berada dalam posisi paling tepat menyatakannya, “gombal” nya makin jelas.
Benarlah apa kata CAL Thomas , seorang penulis dan kolumnis politik dari Amerika Serikat : “Kebenaran jarang menjadi tujuan utama para politisi tapi pemilihan umum dan kekuasaanlah yang menjadi tujuan utama mereka”. Pernyataan Thomas adalah cermin atas apa yang terjadi dalam situasi politik di banyak negara, termasuk negeri kita, Indonesia. Berbagai cara dilakukan politisi untuk memenangi pemilu dengan tujuan akhir mendapatkan kekuasaan. Salah satunya adalah cara pintas yaitu “berbelanja” orang – orang yang sudah terkenal dan mempunyai kekuatan logistik yang besar agar bergabung demi mendongkrak perolehan suara.
Karena itu, sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup , yang sekarang menjadi polemik, sebenarnya tidak ada pengaruhnya bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Proporsional terbuka memberi peluang kepada orang-orang yang terkenal dan sekaligus banyak uang untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Padahal mungkin tingkat kecerdasan mereka di bawah rata-rata, bahkan kelayakan mereka sebagai wakil rakyat pun dipertanyakan.
Proporsional tertutup hanya memberikan kesempatan kepada orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan pengambil keputusan di dalam partai sekaligus kemampuan logistik yang berlimpah untuk mendongkrak perolehan suara. Artinya, apapun sistemnya, tetap ada biaya yang harus dikeluarkan oleh para pemburu kekuasaan.
Apabila dicermati khusus pada kasus yang klasik, berarti kaderisasi di dalam partai politik tidak pernah berjalan dengan baik, walaupun beberapa partai politik mempunyai lembaga pendidikan yang dinamai “sekolah partai”. Kaderisasi lebih sulit lagi dilakukan terutama bagi partai-partai yang kekuasaannya terpusat pada genggaman segelintir elite partai politik. Sebab , ada beberapa partai politik yang dianggap milik pribadi atau keluarga.
Seharusnya semua pemangku kepentingan memikirkan bagaimana menjadikan pemilu di Indonesia berkualitas dan menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan sekadar ajang mencari kekuasaan. Minimalkan permainan uang , karena apabila partai politik mempunyai kader yang berkualitas, sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan suara dan dukungan rakyat. Semoga selamat negeri ini!
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin