Ironi Realita
Oleh: Pribakti B
Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial yang selalu mengadakan interaksi dengan sesamanya guna memenuhi atau pun mencapai hajat dan kebutuhan hidupnya. Namun karena interaksi yang dilakukan oleh manusia ini terkadang melahirkan ketidakharmonisan (sakit hati, dengki, iri dan lain sebagainya) akibat kesalahpahaman antar yang satu dengan yang lain. Karenanya , agar interaksi sesama manusia ini dapat terjaga dengan baik, manusia senantiasa mencari dasar-dasar kepercayaan yang dijadikan landasan pijak untuk membangun tata nilai dalam hidup dan budayanya.
Kepercayaan adalah kebutuhan fundamental hidup manusia. Dikarenakan menjadi kebutuhan fundamental inilah, maka kita temui adanya berbagai bentuk kepercayaan di kalangan masyarakat. Juga, kita jumpai adanya perubahan model-model kepercayaan itu sendiri dari zaman ke zaman. Kita ingat ada animisme, dinamisme dan lain sebagainya. Yang demikian itu sejatinya menunjukkan upaya-upaya manusia mencari dasar kepercayaan yang dipandang sebagai “benar” guna dijadikan pedoman dalam mengarungi hidupnya.
Pendeknya, meskipun manusia pada dasarnya adalah makhluk beragama, namun pada kenyataannya kehidupan manusia banyak yang tidak mencerminkan niali-nilai dari agama itu sendiri. Praktik-praktik korupsi, kolusi, perampokan, pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang lainnya – dimana kesemuanya tidak mencerminkan nilai-nilai agamis – adalah bukti nyata. Bahkan yang sangat menyedihkan lagi adalah agama seringkali dimanipulasi untuk memberikan legitimasi pembenaran atas tindakan kejahatan ataupun kekerasan tertentu.
Sejarah kehidupan manusia memang tidak terlepas dari berbagai bentuk kekerasan. Barangkali inilah yang mendasari bahwa kehidupan manusia ibarat singa dan srigala dimana masing-masing pihak selalu mengintai, menunggu giliran untuk menguasainya. Karena pola hidup manusia yang demikian ini, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk jahat dan bengis. Menurutnya , manusia itu berbuat baik kepada manusia lain karena motif kepentingan, selebihnya tidak. Misalnya, seorang penjual koran yang mau mengantarkan koran ke rumah kita dalam keadaan hujan angin bukan berarti dia itu baik kepada kita, tetapi karena dia punya kepentingan, yaitu butuh uang. Yang demikian ini terjadi karena pada dasarnya manusia selalu mengejar kebahagiaan dan menghindari kepayahan, dimana pun dan kapan pun.
Tetapi demikian , pandangan Hobbes di atas tidak sepenuhnya benar. Salah satu bantahannya adalah datang dari Thomas Aquinas yag berpendapat bahwa manusia itu selain memiliki sifat buruk juga mempunyai sifat baik. Berdasarkan kenyataan diatas, barangkali timbul pertanyaan dalam benak kita, diantaranya: apakah dasar-dasar kepercayaannya yang salah, atau karena belum ada internalisasi secara baik dasar-dasar kepercayaan itu sehingga efeknya tidak kelihatan.
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan di atas, terutama menyangkut soal benar atau salahnya sebuah kepercayaan. Sebab setiap bentuk kepercayaan memiliki klaim kebenaran. Sebagai contoh, dasar kepercayaan Naziizme Hitler menurut kita salah, tetapi tidak demikian menurut pengikut Hitler. Bahkan sejarah membuktikan bahwa Naziizme ini mampu mendorong dan memobilisasi pengikut Hitler untuk memperjuangkan kepercayaan (bca : ideologi) yang mereka yakini benar itu.
Khusus mengenai uji materiil menyangkut benar tidaknya suatu kepercayaan, banyak ahli menawarkan jawaban bahwa untuk hal itu, kita harus membedakan antara makna hidup dan tujuan hidup yang disepakati oleh umat manusia secara rasional. Tujuan utamanya adalah suara hati. Jika rasionalitas dan suara hati umat manusia mengatakan bahwa , misalnya, Naziizme itu sesat, maka Naziizme sebagai makna dan tujuan hidup adalah sesat pula. Begitu pula dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain dalam hal verifikasi atau pengujiannya.
Kepercayaan yang dibangun atas dasar wahyu dari Dzat Yang Maha Kuasa dapat dipastikan kebenarannya. Namun, jika kemudian dijumpai praktik-praktik kejahatan oleh para pengikutnya, sudah pasti nilai-nilai yang diajarkannya belum terserap secara baik. Dapat disimpulkan demikian karena tidak satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk berbuat jahat dan mencelakai orang dan lingkungan di sekitarnya.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, hal ini menjadi sebuah ironi besar dimana penduduknya adalah beragama – bahkan setiap acara-acara keagamaan dirayakan secara besar-besaran – tetapi di sisi yang lain berbagai bentuk kejahatan serta kezaliman akrab bersanding dengan kehidupan sehari-hari kita. Tidak mudah menjelaskan secara baik apa sesungguhnya sedang terjadi di negeri kita ini. Barangkali faktornya adalah besar kemungkinan karena penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keberagamaan itu yang belum maksimal.
Menyadari ironi realita di atas, penting bagi kita untuk memacu diri guna meningkatkan kadar kualitas keberagamaan kita. Barangkali amalan ibadah dalam beragama kita masih banyak bersifat kuantitatif tetapi miskin kualitas. Disinilah sebenarnya kita punya tugas untuk saling mengingatkan, mengajak dan menjalankan ajaran-ajaran agama dengan sebenar-benarnya, baik secara subtansial maupun formal.
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin