infobanua.co.id
Beranda Opini Saatnya Akhiri Sandiwara

Saatnya Akhiri Sandiwara

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Barangkali itu ada benarnya meskipun tidak sepenuhnya. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa hidup ini banyak kamuflase-kamuflase dan kebohongan. Persis dalam sebuah panggung sandiwara. Namun, anehnya banyak yang suka dengan aneka macam tipuan itu. Pertanyaannya adalah mengapa sebagian besar kita suka dengan sandiwara?

Barangkali salah satu penyebabnya karena kita suka pada formalitas, suka pada kulit dan melupakan isi. Contoh, dalam praktik kenegaraan, kita lebih banyak berbicara mencari legalitas meskipun substansi nilai kebenarannya sangat semu. Peraturan dibuat tidak untuk mengatur yang berdampak pada kemaslahatan masyarakat luas, tetapi condong untuk suatu tujuan yang sempit, membenarkan perbuatan, atau untuk memenangkan suatu golongan. Dengan demikian, suatu perbuatan angkara yang hina lagi nista menjadi dibenarkan oleh hukum.

Penyebab lainnya lagi adalah karena bangsa ini punya alat ukur yang sangat unik. Misalnya , alat ukur untuk melihat kesuksesan seseorang dipandang dari berapa jumlah mobil yang dimilikinya, rumahnya di kawasan mana bahkan mungkin merek tasnya, merek sepatunya dan merek bajunya apa. Karena alat ukur yang demikian itu, maka ketika seseorang menjalin hubungan dengan orang lain, orang lain itu disuguhi dengan penampilan yang dilengkapi dengan aksesori mobil mengkilat, rumah mewah, tas bermerek, sepatu bermerek, baju bermerek dan lain sebagainya  (meskipun sebenarnya semuanya hasil utang ). Semuanya topeng. Tetapi celakanya, cara seperti ini justru membuat lawan hubungan menjadi yakin dan percaya sepenuhnya.

Faktor berikutnya adalah karena kita terjerembab dalam definisi-definisi dan paradigma yang tidak jelas alat ukurnya. Dalam bahasa ilmiahnya, kita terjebak pada definisi atau paradigma yang tidak berdasarkan pada epistemologi. Contoh yang mudah disebut disini adalah soal identifikasi jujur dan kaya. Jujur itu identik dengan miskin, rumah bocor, mobil yang sering ngadat dan anak-anak yang sakit-sakitan dan tidak mampu bayar SPP sekolahnya anak. Sementara kaya identik dengan perbuatan-perbuatan seperti korupsi, kolusi, manipulasi dan lain sebagainya.

Sebetulnya semua tahu bahwa paradigma ataupun definisi yang tidak berlandaskan pada epistemologi yang benar tadi mendorong orang menjadi munafik yang penuh dengan kepura-puraan. Tentu tidak semuanya, tapi sebagian besar. Contoh, lihatlah laporan kekayaan pejabat negara. Mudah mudahan semua yang dilaporkan jujur. Akan tetapi , karena disini dan paradigma yang salah tadi, tidak menutup kemungkinan seorang pejabat cenderung tidak melaporkan semua kekayaannya.

Kasus pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo yang ramai belakangan ini di media sosial , diperkirakan memiliki aset lebih besar dari yang dilaporkan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Reformasi birokrasi yang dicanangkan Kementerian Keuangan lebih dari satu dasawarsa lalu telah diolok-olok oleh Rafael. Memiliki harta “resmi” Rp 56 miliar, Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II ini dipercaya jauh lebih tajir. Padahal Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) telah melaporkan harta mencurigakan Rafael pada tahun 2012 dan 2019. Namun tidak ada yang bertindak. KPK dan Kementerian Keuangan baru grasah-grusuh setelah pemberitaan ramai. .(Tempo, Maret 2023)

Sebenarnya genderang reformasi yang ditabuh beberapa puluh tahun yang silam dimaksudkan untuk menata Indoensia agar kembali pada semangat awal cita-cita kemerdekaan (negara merdeka, berdaulat, adil dan makmur). Namun celakanya, reformasi justru seperti masuk dalam kotak pandora hingga akhirnya reformasi berputar-putar tidak mampu keluar guna menemukan pintu hakiki yang menjadi tujuan dari reformasi itu sendiri.

Melihat itu semua, sebenarnya saya menjadi ketawa, tetapi sebenarnya saya juga menangis. Itulah fakta, dimana kita semua bersandiwara! Beberapa kasus pengadilan atas pelaku korupsi uang rakyat misalnya, sangat mirip dengan sebuah lakon sandiwara. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kapan kita menjadi rasional ? Ataukah rasionalitas kita adalah ketidakrasionalan itu sendiri? Kebenaran menjadi maya adanya.

Lalu dimana kini para cendekiawan sejati, kemana para ahli pikir dan kemana pula para datuk negeri ini? Ternyata mereka semua terperangkap dalam gua-gua dingin diselimuti salju tebal hingga menjadi beku. Fakta ini tidak boleh ditangisi, apalagi diratapi. Mari kita bangkit dan buanglah jauh-jauh topeng yang menutup penampilan kita, yang mengkondisikan kita pada lakon kepura-puraan. Mari segera kita akhiri sandiwara ini!.

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan