DPRD Nunukan Gelar Rapat Dengar Pendapat Tentang Perda NO 16 Tahun 2018

Nunukan, infobanua.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD) Kabupaten Nunukan, bersama Dewan Adat Dayak Agabag dalam menyampaikan aspirasi dan tanggapan terhadap nota penjelasan Pemerintah dalam eksistensi masyarakat adat hukum Dayak Agabag.
Rapat Dengar pendapat (RDP) yang digelar di Ruang Rapat Ambalat I Gedung DPRD Nunukan, Selasa (27/03) dipimpin langsung wakil ketua H. Saleh dan Burhanuddin, dihadiri beberapa anggota DPRD dan Lembaga Dewan Adat Dayak Agabag, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Nunukan, Abdul Munir, ST, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Nunukan, Ketua Umum Dewan Adat Dayak Agabag, Staf Sekwan, serta sejumlah awak media.
Adapun aspirasi dewan adat Dayak Agabag dalam menyampaikan aspirasi dan tanggapan terhadap nota penjelasan Pemerintah dalam Permintaan masyarakat adat Dayak Tenggalan untuk dimasukkan ke dalam Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam RDP tersebut, Ketua Umum Dewan Adat Dayak Agabag, Robert Atim menyampaikan antara suku Agabag dan suku Tenggalan tidak ada perbedaan.
Suku Agabag dan suku Tenggalan tidak ada perbedaan, kami satu bahasa, satu wilayah adat yang sama .
Robert Atim mengharapkan, dalam melakukan revisi peraturan daerah (Perda) Nomor 16 tahun 2018 tentang pemberdayaan masyarakat hukum adat, tidak menjadi konflik dan gejolak di tengah- tengah masyarakat.
“Bukan kami menolak atas revisi peraturan daerah (Perda) tersebut, kami hanya memberikan pemahaman di DPRD agar tidak salah nantinya mengambil keputusan”, kata Robert Atim.
Ketika Dewan Perwakilan rakyt daerah mendengar dari Tenggalan, mereka juga harus dengar pendapat kami Supaya clear masalah ini jadi kami tidak bermaksud untuk menolak revisi peraturan daerah (Perda )tersebut.
Pihaknya juga telah menyerahkan dokumen yang mengatur tentang adat Dayak Agabag, dengan sejarah adanya Dayak Agabag di Kabupaten Nunukan, hukum dollop, kamus bahasa Agabag, dan juga identitas. Namun secara eksonim, masyarakat umum menyebut Dayak Agabag sebagai suku Tenggalan.
“Ketika orang memanggil kami Tenggalan, tidak masalah buat kami, karena keberadaan suku Agabag ada di 76 desa. Lalu yang mengakui suku Tenggalan itu ada di 9 desa, itupun hanya kepala desa saja yang mengakui,ujarnya
Dia menyebutkan, dokumen yang kami serahkan ke Anggota Dewan berupa keputusan dari aturan adat suku Agabag, beberapa kamus bahasa Agabag, termasuk sejarah keberadaan Agabag di tanah borneo ini.
Menurut Abdul Munir selaku sistem 1 pemkab nunukan dan dia menjelaskan pemerintah akan bersikap memberi masukan kepada DPRD, terkait apa yang menjadi tolak ukur untuk pembahasan berikutnya, sehingga seluruh permasalahan suhu dan adat yang ada di Kabupaten Nunukan ini dapat persaingan baik.
“Apapun nanti masukkan yang dari masing-masing adat ini mari kita bahas bersama-sama mencari solusi yang terbaik, baik Perda maupun non Perda nanti yang akan disampaikan itu ada jalan keluarnya, jangan sampai masing-masing mempunyai penafsiran yang berbeda.
Pemerintah daerah dalam hal ini semua permasalahan adat dan istiadat di masing-masing semua dihormati, apalagi adat-adat yang ada di dalam hukum masyarakat ada, atas nama pemerintah kami sangat berterima kasih atas masukannya. Besar harapan kami bahwa hal ini bisa kita rapatkan semula sehingga menjadi bahan untuk kita ke depan mana yang terbaik untuk kita bahas mana yang terbaik untuk kita bawa menjadi solusinya,”terangnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut, sebagai kesimpulan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nunukan, Burhanuddin menyampaikan sudah cukup jelas dan nantinya mungkin lebih pada teknis pembahasan seperti apa dengan masukan- masukan yang ada. Saya kira mudah- mudahan menjadi bahan pertimbangan kita dalam mengambil keputusan.
“Ini bisa diselesaikan dengan baik, tapi dengan tidak buru- buru maka kami tidak boleh ditargetkan dengan waktu kapan tuntasnya.
(Yuspal)