infobanua.co.id
Beranda Opini Kontroversi RUU Kesehatan

Kontroversi RUU Kesehatan

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak masalah di negeri ini yang tidak terselesaikan. Sebulan yang lalu mayoritas publik dihebohkan dengan berita mengenai harta kekayaan pejabat Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo. Bukan saja jumlah harta kekayaan yang dilaporkannya melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sangat fantastis . Temuan adanya uang dalam safe box deposit nya yang mencapai puluhan miliar rupiah juga sangat mencengangkan karena tak sesuai dengan profilnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

Hari ini kegaduhan kembali terjadi. Sejumlah organisasi profesi di Jakarta dan seluruh wilayah Indonesia berdemo di depan Kementerian Kesehatan menolak dan menghentikan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan. Dalam draf yang beredar, rancangan aturan ini menempatkan semua urusan kesehatan dari hulu sampai hilir dibawah kendali Menteri Kesehatan. Kementerian Kesehatan bahkan akan membawahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) . Wewenang organisasi profesi yang selama ini dominan pun dipangkas.

 

Menteri Kesehatan kelak yang menentukan standar pendidikan kesehatan, mengesahkan Surat Tanda Registrasi (STR), juga mengeluarkan Surat Izin Praktek (SIP) yang merupakan lisensi profesi bagi pekerja kesehatan tanpa rekomendasi organisasi profesi. Kolegium sebagai salah satu pilar sistem pendidikan dokter spesialis pun diambil dan Konsil Kedokteran Indonesia yang sebelumnya independen kelak juga harus bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan.

 

Jadi bisa dipahami jika kemudian Ikatan Dokter Indonesia dan organisasi profesi kesehatan lain, seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia, menolak rancangan tersebut. Mereka mengingatkan aturan yang memangkas peran organisasi profesi demi meningkatkan jumlah dokter tersebut akan mengorbankan kualitas pelayanan kesehatan. Bukan kepentingan profesi saja tapi untuk kepentingan rakyat Indonesia.

 

Harus diakui kurangnya ketersediaan dokter dan dokter spesialis memang jadi masalah besar pelayanan kesehatan di Indonesia. Saat ini kebanyakan mereka terkumpul di kota-kota besar. Tidak mengherankan jika masih ada penduduk yang harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk menjangkau fasilitas kesehatan. Belum lagi penempatan dokter yang distribusinya tidak merata dan jumlah dokter spesialis yang jauh dari cukup. Atau, kalaupun fasilitasnya mudah diakses dan dokter tersedia belum tentu ongkosnya terjangkau.

 

Saat ini, menurut data Konsil Kedokteran Indonesia terbaru menunjukkan, jumlah dokter umum yang ada sebanyak 165.678 dan dokter spesialis 49.909. (Kompas, 28 Maret 2023). Artinya , saat ini kita punya 215.587 dokter dan dokter spesialis, yang berarti untuk 275 juta penduduk masih diperlukan sekitar 60.000 dokter lagi untuk mencapai rasio dokter terhadap penduduk 1:1000 sesuai standar WHO. Sayangnya , sebagian besar dokter dan dokter spesialis terpusat di kota besar, terutama di Jawa, dan sangat sedikit di daerah timur Indonesia. Lantas , apa perlu impor dokter asing, disamping meningkatkan produksi dokter “domestik”?

 

Di era globalisasi saat ini, masuknya dokter asing ke suatu negara sudah merupakan keniscayaan, tetapi harus tetap mengikuti regulasi yang ada. Masih ada beberapa pertanyaan dan masalah yang perlu menjadi pertimbangan , khususnya bagi pemerintah. Misal, seberapa jauh dokter asing akan dapat memenuhi kebutuhan kekurangan dokter di berbagai pelosok Tanah Air, khususnya dokter spesialis dan subspesialis? Bukan tak mungkin mereka hanya akan bekerja di kota-kota besar dan rumah sakit yang lengkap sarana dan fasilitasnya, dengan gaji tinggi. Selain itu, apakah dokter yang datang dari beberapa negara itu punya kualifikasi dan kompetensi keahlian yang memang tak ada atau langka serta dibutuhkan di negeri ini?

 

Jika mereka bekerja melayani pasien yang datang ke rumah sakit besar, katakanlah rumah sakit dengan predikat internasional tentu saja akan melayani pasien yang sanggup membayar dengan biaya tinggi. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Omnibus RUU Kesehatan akan mempermudah pengurusan STR dan ijin praktek serta mencetak banyak dokter spesialis melalui sistem baru Hospitality Based. Investasi asing di sektor kesehatan juga boleh masuk. Termasuk dokter spesialis lulusan luar negeri tanpa adaptasi boleh praktek di Indonesia dengan catatan sudah 5 tahun bekerja di luar negeri. Masalahnya, apakah masyarakat kebanyakan akan mampu membayar?

 

Lebih jauh, keberadaan RUU Kesehatan ini akan berguna bagi masyarakat jika bisa menghadirkan layanan kesehatan yang profesional, terjangkau dan tidak diskriminatif. Hal itu hanya mungkin terjadi apabila regulator memahami persoalan-persoalan penting kesehatan yang dihadapi masyarakat. Karena itu, DPR dan Pemerintah seyogyanya tidak  terburu-buru mengesahkannya. Proses pembuatannya harus betul-betul melibatkan publik dan mendengarkan aspirasi semua pemangku kepentingan. Hanya dengan itu, aturan tidak membahayakan kesehatan, yang merupakan hak dasar semua warga negara Indonesia.

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan