Sakit dan Mati di Indonesia
Pribakti B
Bila Anda ingin melihat begitu rapuhnya manusia, sering – seringlah pergi ke Rumah Sakit (RS) . Disana banyak orang sakit berserakan, lengkap dengan atribut dan kesakitannya masing-masing. Ada yang berada di stadium terminal, lalu meraung-raung sedemikian hebat. Ada yang loyo dan masa bodoh terhadap selang infus yang bergelayutan. Ada pula pasien yang terkapar sempurna tak jelas apakah dia masih hidup atau sudah mati. Saking parahnya kondisi pasien itu, jangankan orang lain, keluarganya pun sudah ogah-ogahan untuk menunggui. Mereka tampak begitu lelah dan putus asa.
Di tengah pemandangan dramatis semacam itu, bersiap-siaplah juga Anda menatap pemandangan lain yang sangat berbau paradoks. Di luar ruangan pasien , canda para penunggu pasien bisa mengeras, tertawa, cengengesan sambil ngopi, bak di sebuah pasar malam. Pemandangan yang sungguh membuat para pasien iri berat walau tak ada yang salah pada pemandangan itu. Si pasien dan para penunggunya tak perlu iri pada perawat dan dokter yang berekspresi dingin dan praktis, yang menatap penyakit dari kacamata pekerjaan . Mereka tetaplah harus dipahami sebagai kaum profesional. Bayangkan, alangkah berat kalau para dokter dan perawat setiap kali harus terharu, berduka dan berbelasungkawa. Berapa drum air mata dokter dan perawat harus tertumpah melihat pasien terkapar menjemput ajal. Ini berat dan mustahil.
Yang lebih khas lagi pemandangan RS di Indonesia yaitu ketika ada pasien masuk RS, maka segera menyusul rombongan di belakangnya lengkap dengan tikar, bantal, termos dan kopi instant . Yang sakit ya tinggal sakit dan terkapar, tetapi para sehatwan dan sehatwati tetap bersemangat, bertekad bersakit-sakit semasa masih sehat, walau mereka akhirnya sampai sakit semua. Coba bagaimana tidak masuk angin bila tidur di atas tikar, kasur busa tipis, atau di atas lantai saja tanpa alas. Tapi keadaan begini biasanya tidak terlalu lama, karena sudah diputuskan oleh mereka yang sehat tetap berjaga. Luar biasa.
Padahal durasi tidur para penunggu RS ini akan terganggu alias selalu terbangun sewaktu-waktu. Kalau bukan karena si sakit butuh sesuatu, si sakit berkondisi kritis atau ada saja penyebab lain. Apakah itu pasien tetangga yang kritis atau sekarat atau pergi mendahului kita selama-lamanya . Yang pasti, para penunggunya dan keluarga yang menginap akan berhujan tangis parah campur histeris. Itu masih untung kalau pasien cuma opname seminggu karena segera sembuh (atau mati) – atau ada yang berbulan-bulan dirumah sakit. Kalau sudah begitu biasanya para penunggu sudah siap mental, sudah sigap membuat jadwal jaga efektif. Seperti ide sewa perawat giliran jaga, bahkan kalau perlu yang indekos di rumah tetangga si sakit kadang juga dikerahkan.
Di Indonesia ini susah sakit sendirian. Padahal hanya ketika sakit itulah seorang sempat berkontemplasi , minimal terkapar lemah secara sahih tanpa kewajiban apa pun selain istirahat. Dan ketika jam besuk , para pemrihatin mengalir setiap saat menunjukkan atensi. Ucapan semoga cepat sembuh dan selamat beristirahat dari orang yang besuk tak berhenti mengalir ,memaksa si sakit benar-benar harus pasang senyum bersyukur . Kalau tidak kan keterlaluan sudah lumayan dibesuk?
Tapi nanti dulu , pertanyaannya: benarkah orang sakit akan menjadi sangat terganggu ketika ia dibesuk? Dalam keluarga dengan tradisi mati tak mati kumpul seperti bangsa kita ini, si sakit tentu tak punya alternatif lain kecuali butuh ada orang yang dia kenal di sekitarnya. Bangsa kita ini sepertinya bukan jenis manusia yang biasa sakit sendirian – dalam keadaan sehat pun – baginya sudah merupakan sakit berat.
Ini bukan urusan orang yang pada suatu hari pamit untuk pindah masuk ke apartemen mewah sendirian, karena tetap saja yang namanya tikar, bantal, termos, kopi instant dan gaple di luar kamar akan dipandang secara romantik bagi para penunggu di RS. Dikatakan semua ini sebagai bentuk keakraban keluarga tradisional- yang sakral dan mengharukan. Lalu apakah keadaannya berbeda bagi kelompok masyarakat eksklusif dan elitis? Tidak juga. Sama-sama harus membawa tikar, bantal , termos, biskuit dan kopi instant ke samping tempat tidur pasien. Sebab bila tidak, bukan hanya akan membuatnya merasa berdosa, tapi juga membuat si sakit sedih karena tidak diperhatikan.
Jadi jelaslah di Indonesia tetap saja akan sulit menghindari tradisi komunal keluarga besarnya dengan segenap” perhatian “ mereka yang lugu itu. Berbeda bila opname di RS bertaraf internasional, kita tidak lagi melihat tikar, bantal, termos, biscuit dan kopi instant . Hanya saja di sofa di dekat tempat tidur si sakit tetap saja terlihat penunggu, yang juga bersiap jaga sesuai shift. Nah memeriksa konfigurasi nilai-nilai seperti ini yang bertebaran di RS menyenangkan, karena RS akan mencerminkan masyarakat penggunanya. Ideologi yang selalu dominan seputar kebersihan, kesehatan, penderitaan dan kematian bisa dilacak dari tanda-tanda yang bisa dibaca di RS tersebut. Itulah kesan saya selama mondar-mandir di berbagai RS : ternyata kita masih belum boleh mati sendiri.
Bahkan boleh jadi, sampai detik-detik terakhir pun sepertinya diwajibkan ada orang lain menyaksikan kematian kita (nyebelin kan kalau kematian kita “memalukan”). Pertanyaannya, mungkinkah kita mampu menyelenggarakan kematian yang indah sehingga “enak” kalau dilihat orang? Ternyata , masih banyak orang merasa harus ikut memiliki kesakitan dan kematian kita, yang dalam kenyataannya banyak orang ingin juga mati di tengah keluarga, dikerumuni anak cucu. Walau kita tahu, bukankah siapapun seperti kelahiran, kita semua akan mati sendiri-sendiri. Salam sehat.
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin