oleh: Pribakti B *)
Soal oposisi bukan barang baru di Indonesia. Pada masa Demokrasi Parlementer, praktik oposisi pernah dijalankan, tapi terkubur bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oposisi tidak dilarang karena bagian dari berdemokrasi. Cuma yang menjadi persoalan, semuanya meninggalkan pengikut-pengikut fanatik yang kemudian melahirkan kerak-kerak kelompok yang saling bertentangan satu sama lain.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah oposisi benar-benar diperlukan di Indonesia? Beragam pendapat tentang hal ini, ada yang mengatakan perlu dan ada pula yang sebaliknya. Masing-masing punya alasan yang mendasarinya. Istilah oposisi lahir dari khazanah Inggris, ketika di parlemen ada dua kekuatan yang saling berhadapan antara partai yang memerintah dengan partai yang kalah pemilu. Semangatnya adalah untuk mengontrol kekuasaan agar tidak jatuh pada praktik kesewenang-wenangan.
Sebagaimana diketahui kekuasaan cenderung menyeleweng. Juga, disini para pendukung oposisi dimaksudkan untuk memberikan alternatif – alternatif kebijakan yang lebih mencerahkan. Semangat kontrol terhadap pemerintah itu penting. Dengan demikian masalah pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan. Tapi semangat kontrol itu adalah untuk perbaikan dan penyempurnaan, bukan semangat untuk menjatuhkan. Kalau semangat menjatuhkan ini menjadi peringkat nomor wahid, maka saya yakin negara kita tidak akan pernah memiliki pemerintahan yang stabil , kuat dan berwibawa.
Melihat Indonesia adalah bukan Barat, tetapi negara yang memiliki tradisi dan kebudayaan sendiri, maka praktik oposisi perlu dinafasi oleh semangat kultur keindonesiaan. Kalau boleh usul, untuk menjadi oposisi yang elegan sebaiknya menempatkan diri sebagai kelompok kritis yang selalu mengingatkan para pengambil kebijakan agar berhati-hati serta tetap berada di rel dan rambu-rambu yang telah disepakati dan telah ditetapkan. Begitu juga di saat yang sama – pihak oposisi tidak sungkan dan tidak malu-malu memberi applaus – hormat kepada pemerintah ketika kebijakan-kebijakan yang dibuatnya tepat.
Karena itu oposisi di Indonesia tidak perlu mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok tersendiri, tetapi bersatu dengan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pers dan lain-lain yang bekerja sama membantu pemerintah secara kritis (bukan yes man) agar jalan yang ditempuh oleh pemerintah lebih tepat dan lebih akurat, sehingga cita-cita besar berbangsa dan bernegara cepat terwujud. Untuk itu pemerintah sudah seharusnya menempatkan kelompok kritis ini sebagai mitra sejati yang siap menyumbangkan gagasan-gagasan segarnya demi perbaikan.
Sayangnya, di Indonesia ada mantan presiden dan wakil presiden kita yang tidak mencerminkan sikap negarawan. Banyak pula mantan pejabat tinggi yang asal bicara untuk menyerang presiden yang sedang menjabat. Bukannya menyampaikan masukan yang positif, kritik yang disampaikan justru kontraproduktif. Hiruk pikuk tersebut menjadi tambah meriah karena banyak mantan pejabat tinggi pemerintah yang membentuk paduan suara di belakang mantan presiden dan wakil presiden.
Beda dengan di Amerika Serikat. Disana para mantan presiden dan wakil presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat (kecuali Donald Trump) secara berkala mengadakan pertemuan tidak resmi untuk membahas masalah kondisi dan situasi rakyat , negara , serta politik dalam dan luar negeri. Mereka tergabung dalam “Klub Presiden” , mereka memberi masukan positif dan kritik yang membangun kepada presiden yang sedang menjabat tanpa memandang asal partai politik.
Sikap yang sama sebenarnya bisa dilakukan oleh para mantan presiden dan wakil presiden kita. Indonesia sebagai negara besar dengan kurang lebih 17 ribu pulau serta memiliki jumlah penduduk keempat terbesar di dunia. Ada kurang lebih 1.340 suku bangsa yang tersebar diseluruh tanah air. Dengan demografi yang demikian kompleks, memang tidak mudah membangun Indonesia. Karena itu, perlu partisipasi dan sumbang saran dari semua pemangku kepentingan , termasuk mantan presiden dan wakil presiden yang tentu mempunyai pengalaman berharga, dalam mengelola dan membangun negara.
Mereka tentu sangat tahu kesulitan yang dihadapi, mengerti bagaimana menempatkan skala prioritas, dan paham mengenai kemampuan ekonomi. Para mantan presiden, wakil presiden dan pejabat tinggi negara semestinya bersikap positif selayaknya negarawan. Rakyat pasti akan menaruh homat dan penghargaan yang tinggi. Sudah seharusnya masalah politik dan kekuasaan menjadi masa lalu. Menurut Anda, bagaimana?
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Banjarmasin, 23 Desember 2024 – Setelah melalui beberapa tahap seleksi, akhirnya final Inspiration Day Telkomsel…
Jakarta – Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar acara "Expose Produk Inovasi Unggulan FST…
Jakarta, 23-Des-2024 – VRITIMES, platform distribusi siaran pers terpercaya di Asia Tenggara, dengan bangga mengumumkan…
Jakarta, 19 Desember 2024 – Mengubah pola pikir dan kebiasaan terhadap uang sering kali menjadi…
Olahraga adalah bagian penting dari gaya hidup sehat, dan kenyamanan saat berolahraga sangat mempengaruhi performa…
Jakarta, 01 Januari 2025 – VRITIMES, platform media berbasis digital yang terus berkembang, secara resmi…