Republik Rumor
oleh: Pribakti B *)
Sesungguhnya, nguping rumor itu asyik di Republik ini – walau tidak produktif. Kendati tidak jelas sumbernya, jika mengarah alias pas untuk diklop-klopkan, pasti enak disimak. Nara sumber relevan atau tidak bukan indikator utama, wong namanya selentingan. Namun sering yang ”abu-abu” itu benar. Sedihnya, rumor sering sebelumnya sempat dibantah mati-matian sembari urat leher menegang, plus sumpah ”demi Allah”. Akhirnya ketahuan mark up. Tak apa, lidah memang tak bertulang. Esok kedelai sore (jadi) tempe itu lumrah.
Hidup kan memang begitu. Masalah bisa berubah, bisa datang dan pergi. Acapkali pula ia terasa kelewat berat, hingga seakan diluar jangkauan dan merepotkan. Atau, sebuah masalah bisa bikin keseleo lidah, dan menggusur jabatan. Di Senayan pun, meski jelas maunya wakil rakyat ingin gaji besar, eh masih saja ada yang main slot judi saat sidang.
Sebagian molor , sebagian absen, sebagian lebih sibuk minta naik gaji ketimbang demi kesejahteraan rakyat, si pemberi mandat. Elite kekuasaan pun juga begitu. Sibuk kasak kusuk menggolkan proyek agar bisa ditembus komisinya. Kita memang krisis keteladanan. Miskin malu, tapi urat malu-maluin yang digedein. Pokoknya di Republik tak menentu ini, masalah runyam bisa dirumorkan dan yang gawat dibuat sepele.
Jujur, ironis memang. Republik ini tak hanya diterjang banjir bandang dan tanah longsor, juga tengah diterjang rumor. Rasanya, kemana kuping bergerak – rumor alias kabar angin akan mengusik. Biasanya elit dan intelektual di satu sisi dan wong cilik pada sisi lain, berpacu dalam problem masing-masing. Runjamnya elite seolah menjauhi rakyat. Carut marut ini pula, antara lain mengelus dada banyak pihak, termasuk teman saya.
Di mata dia, seorang seorang pemimpin itu harus menyatu dalam diri seorang intelektual. Dia harus peka dan komit terhadap masalah besar yang menyangkut manusia dan kemanusiaan. Hati nuraninya harus hidup, peka dan berfungsi prima. Contohnya gampang kalau gelap jangan dikatakan terang, dan kalau hitam tidak disebut abu-abu. Juga bukan jadi predator yang menggerogoti negara. Tidak membelenggu kebebasan, dan tidak pula menyengsarakan bawahannya. Selain itu, bukan pula orang yang berkubang dalam dosa dan dusta. Pendeknya, tidak melakukan proses pembusukan terhadap bawahan, agama dan bangsanya, begitu katanya sambil tersenyum.
Harus diakui, memang dari waktu ke waktu di Republik ini, keteladanan semakin sunyi. Nurani kita telah lumpuh. Politisi sibuk mencari proyek dan bahkan merangkap sebagai calo. Sungguh malang bangsa ini. Dia dibunuh secara pelan-pelan oleh anak-anaknya sendiri. Karena itu, teman saya mengusulkan Republik ini perlu terobosan radikal. Persis seperti kata alm Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah, kalau saja kondisi bangsa ini masih saja berlanjut (baca: kolaps) maka kita tak perlu mencari siapa penghianat sebenarnya. Lebih baik kita akui bahwa kita semua pengkhianat, tidak terkecuali kaum intelektual.
Begitulah. Tapi demi bangsa ini sebaiknya saya, juga anda tak mempercayai 100 persen kabar angin. Akal kita tak perlu ikut-ikutan bengkok. Apalagi di Republik yang sedang dilanda epidemi rumor begini. Efek rumor memang dahsyat. Bisa menjurus ke fitnah. Bisa ditanggapi positif maupun negatif. Ketika kegelapan makin pekat, ketika petir menyambar-nyambar dan kala angin bertiup kencang, maka fitrah manusia acap tergugah. Cemas dan takut bisa muncul. Maka mulailah manusia yang merasa kaya perlu membangun tembok tinggi, manusia yang terancam karena popularitasnya perlu membangun tempat untuk sembunyi dan manusia yang banyak musuh karena kekuasaan politik perlu memiliki bodyguard.
Padahal jika diusut, rasa cemas itu ternyata bersumber dari kepemilikan, entah itu berupa kekayaan, ketenaran, hal yang dicari manusia dengan segenap kerja keras, segenap ambisi, keringat, airmata dan darah. Kalau kembali harus mengusut, ternyata baru terbukti betapa konyol manusia. Betapa yang dicari selama hidupnya itu, dengan segenap kerja keras dan ambisinya itu, tak lebih cuma berupa kecemasan. Jadi ego yang diagung-agungkan, ternyata cuma berbuah takut dan cemas. Sekarang baru tertebak, betapa penumpukan ego yang sebetulnya adalah yang sangat destruktif.
Dan situasi Indonesia saat ini sebetulnya adalah bukti betapa penumpukan ego telah membuah akibat-akibat yang dramatis. Satu hal yang harus segera dikembalikan ke tengah bangsa ini adalah pentingnya apresiasi hak hidup orang lain. Orang lain dan diri sendiri adalah dua gambar disebuah mata uang yang sama. Membunuh salah satu gambar tak beda membunuh semuanya. Maka mencintai diri sendiri tanpa mencintai orang lain adalah ketololan. Celakanya, penyakit tolol itulah yang sekarang kita derita.
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin