Politik dan Korupsi
olehL Pribakti B *)
Sadar atau tidak, politik dan korupsi tidak bisa dipisahkan. Membersihkan arena politik dari praktik korup (politik uang dan sejenisnya) menjadi problem besar di negeri ini. Politik uang -maaf – mirip kentut. Sulit membuktikan wujudnya tetapi baunya menyebar kemana-mana. Hebohnya luar biasa.
Orang bisa saling tuding, saling melotot, saling tunjuk, tetapi tiada yang mau mengaku. Bahkan mereka yang mempraktikkan politik uang pun akan tutup mulut. Jangankan minta kuitansi tanda terima, pengakuan saja ditolak ramai-ramai.
Pengakuan adalah tindakan bunuh diri. Dan pembantahan sebetulnya adalah sikap tidak tahu diri. Politik tanpa uang ibarat sayur tanpa garam. Hambar tidak punya rasa. Begitu banyak kepala daerah ditangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena masih terus bermain-main dengan uang haram.
Padahal, berulang kali lagi terdengar mereka seharusnya berada di garda terdepan dalam kampanye pemberantasan korupsi. Inilah politik yang berwajah ganda: antara yang terucap dan praktik tidak sinkron. Betapa sulit membersihkan arena politik dari praktek korupsi.
Itulah yang menjadi polemik ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) melontarkan gagasan melarang bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Tujuannya untuk membersihkan arena politik dan meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, partai politik menolak wacana pelarangan itu dengan alasan tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemilu dan melanggar hak kewajiban warga negara.
Padahal, mengharapkan pembenahan yang dipelopori partai politik, politikus, atau pejabat seperti mimpi di siang bolong. Sulit menemukan pemimpin atau elite politik yang benar-benar tahu diri. Sebaliknya begitu mudah menemukan elite politik yang suka pamer diri. Hedonis. Negara kita tak seperti Jepang di mana banyak pejabatnya langsung mundur jika melakukan kesalahan atau perbuatan tercela.
Di negara kita, jangankan mundur , mau membersihkan arena politik saja banyak tantangannya. Sebab politik kita masih didominasi ambisi merebut kemenangan. Cara kasar atau licik tak masalah jika kita dapat merebut kemenangan. Senangnya menyalahkan orang lain, tanpa mau bercermin ke diri sendiri. Harold D Lasswel , ilmuwan politik dari Amerika Serikat, mengatakan, “Politik memang urusan siapa yang mendapat apa, kapan, dan dengan cara bagaimana”. Walaupun demikian , Lasswell menegaskan, politikus seharusnya mengedepankan kepentingan publik daripada urusan pribadi.
Pemikir politik dari Perancis, Montesquieu (1689-1755) yang terkenal dengan ajaran Trias Politica, menyatakan, “Korupsi di pemerintahan selalu dimulai dengan korupsi prinsip dan aturan permainan.” Di banyak negara, termasuk Indonesia, aturan permainan dalam bernegara, atau biasa disebut sebagai undang-undang, dibuat dan disetujui bersama oleh eksekutif dan legislatif.
Dari titik inilah sebetulnya korupsi dimulai, dengan membuat aturan permainan yang bisa dimanipulasi dan diperdagangkan serta menguntungkan kelompok tertentu. Karena itu, penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan bisa dilakukan dengan berlindung di balik aspek legalitas.
Jadi tidak perlu heran bila Indeks Presepsi Korupsi Indonesia 2023 hanya 34, menurun dibanding pada 2022. Karena itu , banyak pembahasan rancangan undang – undang yang terhenti atau sementara ditunda prosesnya karena tidak menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Contohnya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Sebab, bagi para pelaku korupsi, baik yang berada di eksekutif maupun di legislatif, undang-undang tersebut sangat merugikan.
Makin banyak orang baik yang menjalankan roda kekuasaan, tentu akan makin positif dampaknya terhadap lingkungan. Oleh karena itu , Indonesia membutuhkan kemenangan orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong menang dalam pemilihan umum.
Sayangnya di Indonesia penuh dengan penonton: maunya ingin orang baik menang di Pemilu, ingin Indonesia yang lebih baik tapi tidak mau iuran harap, urun angan. Ada keengganan kolektif kita sebagai penonton untuk terlibat, untuk membantu caleg yang baik. Keengganan dan skeptisisme itu sering dilandasi pandangan, buat apa membantu toh orang-orang baik justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor.
Buat apa membersihkan sepatu toh bisa terkotori lagi. Tapi kalau dibersihkan rutin, dipakai , dengan baik, di jaga dari cipratan kotor maka sepatu itu akan aman, akan bersih. Kalaupun terkotori, tugas kita adalah memastikan bahwa sepatu itu rutin dibersihkan.
Singkat kata , tugas kita di Republik ini adalah setiap lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu setiap 5 tahun kita “kirim” kembali caleg yang baik lagi.
Maka dari itu pilihan untuk membantu caleg yang baik menang di dalam pemilu adalah pilihan sejarah. Dengan banyaknya caleg yang baik di DPR, akan semakin baik negeri ini karena tidak banyak yang korup. Semoga Pemilihan Umum 2024 bisa menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang baik serta benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyat.
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin