Oleh: Pribakti B
Praktek pembelian suara memang bukan hal baru di kancah atau percaturan politik. Di Amerika Serikat ada skandal Watergate pada saat dilaksanakan pemilihan presiden tahun 1972. Di Indonesia, meskipun sulit dibuktikan , isu praktek pembelian suara ini juga santer terdengar dan marak dibincangkan. Barangkali, maraknya isu pembelian suara ini akibat langsung dari dibukanya kran kebebasan informasi yang begitu lebar, sehingga hampir tidak ada rahasia yang dapat disembunyikan atau ditutup-tutupi secara rapi.
Tetapi, boleh jadi juga hiruk –pikuknya praktik politik uang berupa pembelian suara dalam berbagai even politik adalah akibat langsung dari mentalitas suka menerabas, yaitu cari jalan pintas yang penting tujuan tercapai, tidak peduli apakah cara yang ditempuhnya melawan hukum atau tidak . Tidak diketahui secara pasti mengapa seorang kandidat pemimpin , baik untuk menjadi kepala negara, kepalak daerah, ketua organissasi politik, ketua organisasi sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya begiu dermawannya membagi-bagikan uang kepada para calon pemilih.
Memang , uang penting guna menunjang mobilitas. Tetapi, kalau uang itu digunakan untuk menaklukkan hati pemilih , maka yang demikian itu sejatinya adalah pelecehan terhadap eksistensi rakyat dikarenakan memposisikannya sebagai pihak yang dapat diberi, terutama cita-citanya. Padahal cita-cita mereka begitu tinggi dan tidak dapat dinilai dengan uang, berapapun jumlahnya. Karenanya tidak berlebihan kiranya jika kemudian istilah suara rakyat adalah suara Tuhan.
Oleh sebab itu , keluhurannya harus dijaga secara ekstra ketat guna merawat agar predikat suara Tuhan tidak bermetamorfosis menjadi gemerincing uang. Pada dasarnya, jabatan pemimpin yang diperoleh dengan membeli suara adalah cara-cara primitif seperti yang dilakukan oleh para agresor kolonialisme. Yang membedakan hanya alat penakluknya saja. Para agresor menggunakan kekuatan senjata guna menunduk-taklukkan penduduk di daerah jajahannya, sementara pemimpin yang memperoleh jabatannya dengan cara membeli suara menaklukkan rakyat pemilih dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Jangan-jangan mereka nanti juga akan berperilakau sebagaimana agresor yang gemar memeras dan menindas.
Menjadi pemimpin adalah amanat. Oleh sebab itu prasyarat yang harus terpenuhi adalah kerelaan hati orang-orang yang dipimpinnya untuk menyerahkan dan mempercayakan segala urusannya yang berkaitan upaya meraih kepentingan-kepentingan dan cita-citanya (politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya). Untuk itu perlu disadari bersama bahwa menjadi pemimpin bukanlah alat untuk gagah-gagahan tetapi untuk mengabdi dan menjalankan tugas. Pemimpin berkewajiban untuk melayani bukan minta dilayani.
Entah mengapa, pada umumnya , orang begitu berhasrat mengambil jabatan pemimpin, Padahal tanggung jawabnya tidak ringan . Adalah tidak masalah jika keinginan yang begitu besar itu bagian dari bentuk fitrah manusia yang selalu ingin mengabdikan dirinya secara total dan lebih berkualitas baik bagi diri ediri sendiri maupun orang lain. Kendati demikian , pertanyaan yang segera wajib dimunculkan dalam diri kita adalah mampukah kita menjalankan tugas berat itu?
Tidak ada yang salah jika seorang berambisi mengembangkan diri. Menjadi hal yang lebih menuntut akhlak dan tata nilai jika ambisi itu dikaitkan dengan nasib ratusan juga manusia. Pemimpin dalam suatu masyarakat berperan dalam pengabdian, bukan menikmati kekuasaan. Karena itu munciul istilah negarawan. Berbeda dengan seroang politikus yang mengejar ambisinya sendiri, seorang negarawan dibekali kemampuan mawas diri. Orang Jawa mengatakan: Aja rumangsa bisa, nangin bisa rumangsa (Jangan merasa bisa , tapi bisalah merasa). Mengemban jabatan tanpa didasari knowledge, skill, ability dan attitude merupakan tragedi dan ironi jika didapati pada orang-orang yang diharapkan menjadi negarawan.
Memimpin negeri bukan senda gurau, apalagi ibarat permainan judi. Disinilah pentingnya pembinaan akhlak serta tata nilai sejak dini dan dihayati benar dengan ketulusan. Mencerdaskan bangsa secara merata seperti cita-cita Sutan Sjahrir sebagai people’s inteligentsia adalah kunci kemajuan serta kebesaran suatu bangsa. Bukan sebaliknya , yaitu memanipulasi serta merendahkan martabat manusia sebagai suara sesaat dengan iming-iming dangkal.
Satu hal yang harus disadari oleh pelaku politik yang melmiliki ambisi adalah makna ungkapan : hidup manusia pendek, tapi harkat/martabatnya jauh lebih panjang melampaui umur. Kita juga mengenal pepatah: harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Nama ini dapat berupa nama baik atau sebaliknya. Semoga di tahun 2024 melahirkan negarawan sejati yang menjadi nakhkoda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin.
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Sejak awal tahun ini, Hisense Laser Cinema PX3-PRO sebagai perwakilan industri layar laser, telah berulang…
Jakarta, 27 Desember 2024 – VRITIMES, platform distribusi siaran pers terkemuka di Asia Tenggara, dengan…
infobanua.co.id - Sebanyak 174 personel Polda Sumut dari jajaran Polres terlibat berbagai pelanggaran sepanjang tahun…
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, hingga tahun 2024, diperkirakan sebanyak 25,5 juta UMKM di…
Kabar Bahagia untuk Para Gamers dan Penggemar Crypto! Kumpulkan $GAME Token dan tukarkan dengan Crypto…
JAKARTA - PT BRI Multifinance Indonesia ( BRI Finance ) sebagai bagian dari BRI Group turut mensukseskan perayaan…