Dimana Kebesaran Manusia
oleh: Pribakti B *)
Sesungguhnya masyarakat dunia pernah dihentakkan kesadarannya ketika Nagasaki dan Hiroshima dibom Amerika dalam perang dunia kedua. Dan, belakangan ini secara telanjang Israel dan sekutunya mempertontonkan kesombongan dan sadismenya ketika menghajar Palestina. Sementara itu, para ahli ekologi sadar betul bagaimana merosotnya kualitas air dan udara akibat perkembangan industri modern. Kerusakan lingkungan hidup, baik sosial maupun alam, semakin terlihat kasatmata.
Dalam perspektif filsafat, krisis sosial, politik dan ekologi ini sudah lebih dari cukup sebagai panggilan untuk melakukan kritik total terhadap gaya dan filsafat hidup serta kebijakan publik yang dilakukan pemerintah. Berulang kali bangsa ini diterpa krisis, tetapi rasanya sulit untuk diajak melakukan pertobatan dan perubahan . Begitu banyak ritual dan khotbah keagamaan, tetapi semuanya hanya sekadar menjadi hiburan dan seremoni yang didengar sesaat tanpa implementasi. Apa yang salah pada anatomi bangsa ini?
Saat terjadi musibah tsunami, seketika bangsa ini bangkit dan secara spontan menunjukkan solidaritas kemanusiaan tanpa pandang suku, agama dan profesi. Seakan seperti orang yang tadinya tidur lelap, lalu terbangun ketika ada “dentuman bom tsunami” yang menghantam kamar tidurnya. Jika panggilan itu hanya berupa suara bel, dering telepon, lonceng atau teriakan , telinga nurani kita tak lagi mampu mendengarkan.
Pertanyaannya, apakah setelah “dentuman bom tsunami” yang membangunkan nurani kemanusiaan dan keindonesiaan kita akan tidur kembali berselimutkan korupsi, ketamakan dan egoisme? Ataukah momentum ini akan dijadikan awal sebuah kebangkitan? Kita lihat saja, apa yang akan terjadi.
Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, maka manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak.
Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuhnya sesungguhnya posisi kita di hadapan alam semesta. Alam semesta adalah sumber kebajikan. Maka untuk meraih kebaikan hidup, baik individu maupun sosial , manusia harus mengembangkan akal budinya. Untuk itu manusia dianjurkan untuk berdamai dan meniru perilaku alam semesta, jika ingin memperoleh keutamaan hidup.
Selain itu, sudah lama kita mendengar kata “kosmologi” yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apapun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia, terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas.
Lalu, di mana kebesaran manusia? Kata kitab suci, disamping karena akalnya dalam diri manusia terdapat roh illahi. Disebutkan roh illahi ini yang mengendalikan kehidupan seseorang. Bahkan bumi, laut dan planet di sekitar kita, semuanya senantiasa melayani manusia. Matahari diperintah Tuhan untuk menciptakan penguapan air laut. Giliran angin membawa ke daratan agar menjadi mendung dan hujan. Lalu bumi dengan gembira menampungnya dan menyuruh benih tanaman tumbuh untuk melayani kebutuhan manusia.
Demikianlah , ketika seharian manusia telah lelah bekerja, malam dipanggil untuk menyelimuti agar tidurnya lelap. Begitu pemurahnya bumi sehingga ia disebut Ibu Pertiwi, sosok yang senantiasa mencintai, memberi dan melayani, tetapi tak pernah mengharap balas budi. Maka di abad ke 21 ini, kita dituntut untuk berkawan, santun dan mencintai alam tanpa terjatuh untuk menyembahnya sebagai Tuhan karena alam adalah jejak-jejak kebesaran dan kasih-Nya.
*) dokter RSUD Ulin Banjarmasin