Ngerinya Negeriku

Oleh: Pribakti B
|
Berbagai isu yang terjadi belakangan di negeri ini memang meresahkan. Salah satunya adalah soal peretasan Pusat Data Nasional (PDN). Seperti diketahui tidak ada back up di PDN kita. Data kita tidak dipandang penting . Kita tidak penting. Memangnya sejak kapan rakyat dianggap kira-kira penting selain di bilik suara? Begitu kira-kira tulisan singkat Najwa Shihab di media sosial.
Jurnalis terkenal itu gregetan terhadap isu PDN sementara yang diretas hacker. Kekesalan Najwa Shihab sesungguhnya kekesalan kita semua. Kenapa situs-situs instansi pemerintahan Indonesia sering banget dijaili hacker ? Apakah para hacker itu tahu Indonesia tajir tapi elitenya dungu? Apakah para hacker itu tahu mayoritas rakyat Indonesia mudah dibego-begoin dengan bantuan sosial dan duit yang habis buat beli kuota internet doang?
Dalam bidang profesi dikenal kompetensi yang menyeluruh dan dirangkum dalam istilah Knowledge, Skill dan Attitude (KSA). Pemimpin dalam bidang apapun harus memiliki KSA yang mumpuni sesuai dengan bidang tanggungjawabnya. Peretasan PDN menggambarkan betapa negeri tercinta ini tidak sedang baik-baik saja. Apalagi bila anda menyaksikan sidang Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, kita disadarkan mengenai betapa benarnya sabda Rasullulah SAW dan prinsip kompetensi manajemen modern.
Tidak heran bila kiamat kecil sudah terjadi karena gentingnya kepentingan dan keamanan negara. Hal yang tersirat dalam rentetan peristiwa ini adalah tiadanya sikap ksatria yang didasari akhlak serta sifat luhur dalam menyikapi kegagalan mengemban tanggungjawab yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Kita tidak perlu menuntut dilakukannya hara-hiri seperti ksatria Jepang. Tapi teladan pemimpin di beberapa negara maju menunjukkan, tanpa ada tuntutan masyarakat pun , sikap bertanggungjawab ditunjukkan dengan spontanitas pengunduran diri dari jabatan. Kekuatan dan keutuhan suatu bangsa berikut masa depannya yang cemerlang lebih ditentukan oleh teguhnya akhlak serta tata nilai lurus, bukan kemegahan semu lahiriah.
Isu lainnya adalah ruwetnya masalah perumahan untuk rakyat . Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mengamanatkan dengan jelas negara bertanggungjawab menyediakan perumahan bagi masyarakat. Karena itu pemerintah bisa dikatakan melalaikan kewajibannya lantaran melempar tanggungjawab penyediaan rumah dengan menggunakan dana masyarakat, yang dikemas dalam Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Mestinya apabila pemerintah punya niat baik mengatasi kurangnya perumahan tiap tahun bisa mengalokasikan anggaran yang memadai dan memasang target jumlah rumah yang akan dibangun. Misal bekerja sama dengan pemerintah daerah, mereka diminta menyiapkan lahan , pemerintah pusat bertanggungjawab atas seluruh biaya pembangunan rumah. Setiap kepala daerah harus berperan dan bertanggungjawab dalam penyediaan rumah murah warganya.
Membangun Ibu Kota Nusantara atau IKN dengan anggarannya ratusan triliun rupiah saja bisa dilakukan. Begitu pula rencana makan siang gratis yang jumlahnya ratusan triliun rupiah juga bisa disiapkan. Belum lagi berbagai pembangunan infrastruktur yang menelan biaya ratusan triliun rupiah tapi manfaatnya tidak menyentuh langsung rakyat kecil. Pertanyaannya , apakah negara tidak mempunyai kemampuan atau akan jatuh miskin bila mengalokasikan anggaran 100 triliun setiap tahun untuk membangun perumahan murah?
Dan yang terakhir adalah kegilaan gelar profesor imitasi, yang diduga kuat mereka mendapatkan lewat pintu belakang jalur akademik. Sesuai peraturan syarat menjadi profesor antara lain menulis karya akademik di jurnal ilmiah internasional bereputasi sebagai penulis pertama. Mirisnya hasil investigasi majalah Tempo, gelar diperoleh lewat jalur ilegal dimana mereka mempublikasi tulisan di jurnal predator – jurnal yang menayangkan tulisan tanpa tinjauan sejawat . Berikutnya mereka main mata dengan para asessor di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang menilai pemenuhan syarat menjadi guru besar.
Sudah maklum, si pemburu jabatan profesor semacam itu tidaklah berharap bahwa karya ilmiahnya akan dibaca dan dikutip orang. Bagi mereka yang penting diangkat menjadi profesor dan menerima tunjangan kehormatan . Bahkan kalau ada kesempatan gelar profesor itu berguna pula untuk menduduki jabatan birokrasi di kampus. Perkara karya ilmiahnya tak disentuh dan berdebu di rak-rak perpustakaan, dia tak peduli. Ah, ngerinya negeriku!
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now