Darurat Demokrasi Indonesia
Oleh: Pribakti B
Demokrasi Indonesia saat ini boleh dibilang dalam “keadaan darurat”. Alias perlu memperoleh tindakan penyelamatan secara serius dan seksama , agar tidak mati. Agaknya penilaian ini tak terlampau berlebihan mengingat suasana dan kondisi sosial -politik yang ada. Kini tampak begitu carut marutnya oleh perebutan pengaruh kekuasaan secara amat telanjang. Banyak hal yang sesungguhnya lebih penting dan mendesak, yang bersentuhan dengan nasib orang banyak, terabaikan. Potret konflik politik di level elite, setidaknya secara tegas memberikan pesan yang amat mendalam bagi siapa saja yang menghendaki tegaknya demokrasi, untuk menyelamatkan demokrasi itu sendiri.
Sejak jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, kita telah menjalani demokratisasi politik selama 26 tahun. Dibanding negara-negara Barat yang berdemokrasi ratusan tahun, usia ini memang belum seberapa. Tetapi dibanding negara-negara otoriter lain di dunia, kita sudah luar biasa. Walau demikian, cita-cita yang ingin dicapai melalui demokrasi itu ternyata masih banyak yang tercecer. Cara yang ditempuh belum mendatangkan hasil yang diinginkan. Keikutsertaan warga dalam menentukan pemimpin melalui pemilihan langsung ternyata tidak serta merta menghasilkan pemerintahan yang dapat mensejahterakan rakyat secara merata.
Mengapa? Suatu pertanyaan yang sulit dijawab apalagi hanya dalam beberapa kalimat. Salah satu alasan yang dikemukakan para ahli adalah demokrasi kita dibajak oleh para pemilik modal, yang dapat mengendalikan berbagai kekuatan di masyarakat untuk kepentingan mereka. Sederhananya, dengan uang berlimpah, mereka dapat membeli media, politisi, tokoh masyarakat hingga pemilih.
Sudah bukan rahasia lagi, demokrasi politik yang berjalan saat ini, menuntut modal yang sangat besar. Untuk mencalonkan diri, konon orang harus membayar partai-partai pengusung atau jasa pengumpulan KTP untuk calon indepneden. Belum lagi biaya untuk tim sukses dan ongkos kampanye melalui media cetak dan elektronik, baliho, spanduk, stiker, hingga transportasi, dan konsumsi setiap kegiatan.
Semasa kampanye, tim sukses biasanya membagikan sarung, jilbab, atau kaus kepada para pemilih. Ada pula yang membantu tempat ibadah atau lembaga sosial. Sebagian tokoh agama dihadiahi umrah gratis, sementara kaum intelektual dan mahasiswa dijadikan tim sukses. Menjelang hari pemilihan, sering terdengar ” serangan fajar” berupa pembagian uang tunai untuk setiap pemilih.
Orang tidak perlu menjadi ahli ilmu politik untuk memahami semua ini. Jelas bahwa jabatan politik menuntut biaya tinggi. Tampaknya, guyonan ada uang abang disayang tidak ada uang abang ditendang benar-benar berlaku disini. Akibatnya , pemimpin terpilih cenderung tersandera oleh para pemodal yang membantunya. Ibarat berdagang, modal harus kembali dan labanya harus berlipat ganda.
Demokrasi kita seolah terjepit antara modal ekonomi di satu sisi dan kemiskinan rakyat di sisi lain. Disinilah peran kelas menengah sangat penting. Politik uang jelas melibatkan orang-orang dari kelas menengah, yang terkooptasi kepentingan pribadi dan kelompok. Pemilik modal, si calon, kelas menengah, dan rakyat miskin, semua tidak mau berpikir tentang kepentingan bersama.
Dalam pandangan saya, demokrasi akan sehat jika didukung oleh modal sosial berupa hubungan saling percaya di antara kelompok-kelompok di masyarakat. Hubungan semacam itu terjalin ketika orang tidak hanya memiliki ikatan sosial seperti keluarga,, etnis atau agama, tetapi juga jembatan yang menghubungkan antar ikatan itu, yang melahirkan upaya untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Jika pandangan diatas benar, maka penyakit demokrasi kita saat ini adalah egoisme : yang penting aku, keluargaku, kelompokku. Aku tak peduli jika warga lain menderita, miskin, bodoh dan sengsara. Aku tetap aku, meskipun sudah bergabung dengan “aku-aku” lain dalam satu kelompok karena “aku-aku” itu menjadi “kami” yang berhadapan dengan “kalian”. Masalahnya “aku” tak pernah benar-benar menjadi “kita”. Padahal , demokrasi adalah kita. Tak ada beda, apakah Anda optimistis, pesimistis atau apatis.