Indonesia 2045, Seperti Apa?
oleh: Pribakti B *)
Dengan jumlah penduduk sekitar 400 juta pada tahun 2045 – jika laju pertumbuhan penduduk 1.13% pertahun berkelanjutan – Indonesia mungkin akan menggeser posisi Amerika Serikat yang kini berada di peringkat tiga setelah China dan India. Dengan jumlah penduduk hampir setengah milyar , pertanyaan mencekam yang sering mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan penegakan hukum yang berlaku sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni?
Kemudian dengan semakin dalam cakaran kuku asing di dunia perbankan, di pertambangan , di tengah perpajakan Indonesia yang sangat kumuh, kondisi bea cukai yang semrawut dan perilaku korup politisi, apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sekali? Atau kita sudah menjadi budak di rumah kita sendiri? Pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan.
Ini karena mengamati perkembangan Tanah Air yang teramat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Setelah 79 tahun merdeka, Indonesia bukannya bergerak ke arah kesetaraan, tetapi bergerak ke arah ketimpangan. Indonesia timpang adalah fakta brutal yang kita rasakan. Sebut misalnya keadilan untuk semua warga, kondisinya jelas semakin memburuk dari hari ke hari, sementara mereka yang berada di puncak piramida adalah penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas. Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini?
Belajar dari berbagai negara maju, ada dua pilar yang harus dibangun secara serius oleh pemerintah Indonesia yang baru kalau ingin maju secara bermartabat, yaitu menciptakan pemerintahan yang bersih, cerdas serta pendidikan yang bagus. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan, Malaysia, Singapura dan China, misalnya, dua bidang itu menjadi prioritas utama sehingga buahnya mulai terlihat dan dirasakan.
Sementara Indonesia, karena kedua bidang ini terabaikan, sekian banyak biaya telah habis, tetapi ujungnya justru kebingungan dan kebangkrutan. Ibarat memanjat pohon yang amat tinggi, bangsa Indonesia telah mengeluarkan ongkos yang teramat mahal, baik tenaga , kekayaan alam, utang luar negeri , maupun modal sosial untuk sampai ke puncak. Tetapi, sungguh ironis sesampai di puncak pohon ternyata buah yang didambakan tidak ada , yang berbuah rupanya pohon tetangga.
Selama ini pendidikan sering dipahami dalam pengertiannya yang sempit berupa kegiatan belajar yang berlangsung dalam ruang sekolah. Lebih mengerucut lagi, pendidikan diperas menjadi semacam kursus dengan target akhir memperoleh ijazah sebagai modal melamar pekerjaan. Padahal, dalam pengertiannya yang luas , pendidikan adalah upaya sistematis untuk membangun kebudayaan dan peradaban sebuah bangsa.
Karut marut kebudayaan dan peradaban Indonesia yang kita saksikan saat ini berakar pada kegagalan sistem pendidikan kita. Merancang sebuah pendidikan seharusnya selalu mempertimbangkan agenda besar pembangunan bangsa dan kondisi global. Jika korupsi ternyata telah menggerogoti seluruh upaya dan hasil pembangunan, pendidikan karakter dan apresiasi pada hukum menjadi sangat vital. Terlebih ketika produk asing membanjiri pasar di Indonesia, padahal bangsa ini kaya dengan segala macam bahan baku alam, berarti bidang keterampilan dan iptek serta wawasan global harus ditingkatkan agar kita juga bisa jadi bangsa eksportir.
Akan tetapi, mengapa pendidikan kita berjalan di tempat? Karena sejauh ini pemerintah belum menunjukkan visi program strategis, dan tekad untuk memajukan dunia pendidikan agar kompetitif dengan bangsa lain. Sebaliknya ketika pendidikan tidak bermutu, berapa pun biaya yang keluar hanya akan melahirkan sarjana yang juga tidak mutu. Kondisi semakin parah ketika birokrasi pemerintahan dan dunia bisnis penuh dengan praktik korupsi. Akibatnya proses sosial politik yang berlangsung hanya akan semakin memperburuk keadaan jika pemerintah ataupun yang diperintah berkolusi untuk melanggengkan kebodohan dan korupsi.
Maka saat ini agenda yang sangat mendesak adalah bagaimana memunculkan pemerintahan yang bersih, visioner serta memiliki komitmen kuat pada bidang pendidikan agar semakin tinggi kita memanjat pohon, bukannya semakin kecele dan semakin tinggi jatuhnya. Kita tidak bisa lagi berdalih dengan jargon masa transisi serta menyalahkan masa lalu. Kebutuhan anak-anak bangsa untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan dan kesehatan tidak mengenal masa transisi.
Dengan penduduk 282,4 juta pada tahun 2024 ini saja Indonesia telah keteteran oleh berbagai masalah yang berhimpit. Anda bisa bayangkan kira-kira seperti apa Indonesia pada tahun 2045 jika rahim Nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan. Sementara di sekitar kita banyak berkeliaran para politisi rabun ayam plus pengusaha tunamoral. Apakah pada tahun itu cucu-cucu kita masih bisa tersenyum atau mereka harus meratapi nasib malangnya sebagai ekor ulah buruk dari generasi yang melahirkannya?
*) dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin