Kenali Kampung Mati Sariek Bayang Yang Berada Antara Pesisir Selatan dan Solok
Pesisir Selatan, infobanua.co.id – Sariak Bayang, sebuah nama melegenda dari Kabupaten Solok sejak masyarakat di nagari mengikuti Transmigasi lokal di era bupati Gamawan Fauzi ke Rimbo Data – Sungai Nanam yang kemudian lokasinya dinamakan Rita Sarbaini (Rimbo Data Sariak Bayang Masa Kini).
Namun ada juga yang memilih pindah ke Bayang Kabupaten Pesisir Selatan. Karena secara histori masyarakat disini punya silsilah dengan kerabat di Bayang kabupaten Pesisir Selatan dan Alahan Panjang di Kabupaten Solok.
Setelah 27 tahun berlalu, Sariak Bayang yang terletak dijalan baru penghubung Kabupaten Solok – Pesisir Selatan banyak dilirik wisatawan karena eloknya pemandangan. Salahsatunya bloger dan novelis dengan nama Mande Hanifah yang menuliskan perjalanan dimedia sosial sebagai berikut,
Pertama kali jalan berdua naik motor menempuh jalur yang tak biasa, menjajal hutan belantara. Menempuh jalan yang baru dibangun. Jalan yang menghubungkan Kabupaten Pesisir Selatan dengan Kabupaten Solok Sumatera Barat.
Kami melewati puluhan tanjakan terjal dan turunan curam. Pas berangkat rasanya bahagia-bahagia aja. Karena bertemu dengan beberapa kelompok touring yang juga sedang menjajal medan yang sama. Meski saya harus turun dari motor tiap kali melewati tanjakan dengan jalan tanah merah bercampur batu.
Capek banget tapi happy. Karena pemandangan yang tersaji sungguh Maasya Allah. Luar biasa. Hutan yang masih asli dengan pohon-pohon besar yang batangnya berlumut (khas hutan hujan tropis). Dari atas sana, saya juga sempat melihat hamparan Samudera Hindia. Indah sekali. Pengen nangis saking bersyukur dan terharu. Serta tidak lupa berdoa, semoga hutan itu selalu terjaga dari tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Puluhan air terjun juga kami temui. Tapi yang gak terlupakan tentu saja ketika ketemu Kampung Mati yang bernama Sariak Bayang. Bekas rumah-rumah dan mushalla masih tersisa di sana. Konon, pemerintah memindahkan semua warga di sana sejak tahun 1997.
Bukan kenapa-napa. Semata karena letak kampung itu terlalu jauh dan terisolir. Untuk ke kampung lain saja, perlu berkendara sejauh 20 kilometer. Kebayang gak dulu mereka tempuh jalur itu dengan berjalan kaki. Trus gimana akses mereka sebelum jalan itu dibuka?
Kabarnya, masyarakat bahkan sering papasan dengan Inyiak Balang (harimau) dan binatang buas lainnya.
Jadi diputuskanlah masyarakat di sana dipindahkan ke salah satu kecamatan di ujung Pesisir Selatan. Hingga kampung itu terpaksa ditinggalkan demi akses dan keamanan.
Pas sampai di Kampung Mati ini, saya jadi teringat sama Titian Jerami, desa yang hilang di novel Nyala Mentari. Novel saya yang pernah viral dan laris sekali baik versi buku cetak maupun di aplikasi KBM App dan telegram.
Dari rumah saya, kami menghabiskan 2,5 jam di perjalanan. Jika melewati jalan lintas sumatera (jalan biasa) kami akan memakan waktu 4,5 jam perjalanan (itu pun kalau tidak macet).
Hanya sebentar kami di Alahan Panjang. Karena hujan sudah mulai turun. Saya dan suami pun bimbang memutuskan, mau lewat jalan tadi atau memutar dulu ke Kota Padang. Tapi Pak Defta keras hatinya pengen balik melewati jalan yang tadi. Akhirnya saya telepon teman-teman yang di Bayang, mereka bilang di pessel enggak hujan. Jadi kami pun memberanikan diri menjajal lajur itu lagi.
Tapi ujiannya ternyata di sepanjang jalan menuju pulang. Jalanan mulai berkabut dan gelap. Kabut terkurung di lekuk bukit. Udah gitu, jarang papasan sama peserta touring lain. Jangankan megang ponsel buat ngerekam, saya bahkan sibuk komat-kamit baca doa. Setiap tanjakan dan turunan, seperti biasa saya turun, sambil ketakutan ketemu hewan buas.
Qadarullah, kami akhirnya ketemu lagi sama satu-satunya warung yang terletak di puncak bukit. Karena takut turun tersebab gerimis dan jalanan licin, Pak defta akhirnya minta bantuan yang punya warung untuk bawa motor kami, sementara kami berdua jalan kaki. Alhamdulillah selamat sampai di jalan yang layak dan beraspal.
IB