Membangun Mentalitas Batur
oleh: Pribakti B *)
Istilah “batur” berasal dari bahasa Jawa. Yaitu pelayan profesional yang setia terhadap majikan. Karena profesionalitas dan kesetiaan itu, seorang batur senantiasa berusaha sekuat tenaga meringankan pekerjaan-pekerjaan berat yang dipikul oleh majikannya. Mental batur seperti ini sangat dibutuhkan dalam reformasi birokrasi. Tentu , mentalitas batur ini tidak hanya diperuntukkan bagi para aparatur pemerintah semata, tetapi juga untuk segenap masyarakat, mengingat bahwa reformasi birokrasi tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada keterlibatan secara aktif berbagai kelompok masyarakat.
Lalu, kepada siapa mental batur ini diabdikan? Tentu mentalitas batur ini diabadikan untuk kemajuan negara demi mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Dengan demikian, maka masyarakat yang berprofesi sebagai-misalnya-pengusaha bersungguh-sungguh menjalankan usahanya dengan tetap mengedepankan aturan-aturan yang berlaku, tidak main suap, kolusi dan lain sebagainya. Begitu pula dengan para aparatur negara. Mereka sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai abdi, pengayom dan pendorong masyarakat, bukan malah menindas para bawahannya serta mengeksploitasi rakyat yang dipimpinnya.
Sudah barang tentu, mewujudkan mental batur di tengah-tengah kelompok masyarakat bukan hal mudah. Dalam kaitannya dengan upaya membangun mentalitas batur, hal pertama yang harus dilakukan adalah menggeser mentalitas kacung yang kini banyak menjadi penyakit masyarakat. Yaitu mental yang suka menjilat dan mencari muka. Orang yang bermental kacung ini biasanya giat bekerja ketika berada di depan atasan atau bossnya. Tetapi bila bossnya sedang tidak berada di tempat dia bermalas-malasan dan ogah-ogahan . Orang bermental kacung ini juga sering memanipulasi fakta (membuat laporan palsu) demi menyenangkan/menjilat atasan atau “asal bapak senang” (ABS). Juga , orang bermental kacung ini gemar menindas bawahan tapi menjilat atasan. Yang menjadi masalah besar adalah banyak boss-boss yang suka dijilat oleh bawahannya.
Guna mewujudkan sekaligus meneguhkan mentalitas batur di tengah-tengah kelompok masyarakat, sungguh diperlukan suatu rekayasa sistemik, konseptual-pragmatis, dan berkelanjutan. Program-program, misalnya, penguatan , pemberdayaan, dan juga penyadaran kewarganegaraan bagi masyarakat perlu ditingkatkan. Namun, desainnya harus jelas yaitu membangun kesadaran partisipasi warga dalam pembangunan bangsa dan negara. Yang dimaksud dengan partisipasi di sini adalah munculnya kesadaran dalam setiap warga negara bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa Indonesia yang ikut bertanggung jawab atas nasib bangsa dan negaranya.
Begitu pula program-program peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur negara perlu ditingkatkan. Khusus bagi program peningkatan SDM aparatur ini penting kiranya mengunakan pendekatan manajemen pengembangan SDM, yaitu pendekatan yang memandang seluruh siklus pengembangan kepegawaian mulai dari perencanaan kepegawaian, pendidikan dan pelatihan, pemanfaatan , pembinaan kepegawaian dan penetapan imbalan sebagai suatu proses integral yang tidak terpisahkan.
Maka sekarang pekerjaan mendesak pemerintahan baru Prabowo-Gibran adalah mendobrak dan menyingkirkan jauh-jauh mentalitas yang tidak mendukung reformasi birokrasi ini. Pembenahan mentalitas bangsa guna mendukung laju reformasi birokrasi membutuhkan kekuatan yang memiliki daya paksa yang ekstra kuat. Kuncinya adalah supremasi hukum. Kaitannya dengan hal ini, maka para aparat penegak hukum harus lebih meningkatkan kualitas kerja dan kinerjanya hingga dampak atau hasilnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Semoga.
*) dokter senior RSUD Ulin Kota Banjarmasin Kalsel