Oleh: Pribakti B
Kadang saya merenung sendiri, benarkah kita mencintai Indonesia? Benarkah para politisi itu berjuang demi rakyat Indonesia. Jangan-jangan jabatan politik dan jabatan publik itu dipandang layaknya sebuah ladang sawah untuk mengejar keuntungan materi belaka. Mereka yang aktif bekerja disitu , tak lebih sebagai pekerja yang mengejar upah. Sementara, ada pihak pemodal , baik modal sosial maupun modal material yang bertindak sebagai investor dan tinggal menunggu setoran tanpa kerja banting tulang dan bermandi keringat. Gambaran itu muncul karena energi dan ongkos material banyak terkuras sementara kondisi bangsa tidak maju-maju. Utang negara semakin banyak, pajak rakyat naik, indeks korupsi tidak membaik.
Ada perasaan ngeri berbaur sedih di hati ini atas fenomena yang kini tengah berlangsung di negeri ini. Seperti ada suatu skenario besar dan sistematik yang sedang dimainkan. Ada sutradara sedang mengatur lakon dan para pemain memerankannya dengan apik dan cantik. Dipermukaan terlihat indah menyenangkan sekaligus memberikan harapan untuk perbaikan, baik secara personal maupun sosial . Tapi kalau kita jeli membacanya akan terlihat jelas bahwa lakon yang sedang dipentaskan bisa mengantarkan kita pada petaka besar kalau kita salah menangkap pesannya, atau kita salah menerapkan pesan-pesannya.
Ada pandangan yang kontradiktif terhadap kondisi Indonesia sekarang. Kalau kita mendengar pandangan kalangan asing, rasanya kita berbunga-bunga. Jarang kalangan luar negeri yang tidak memberikan gambaran optimis terhadap masa depan Indonesia. Sebaliknya , dari kalangan kita sendiri, justru sering terdengar gambaran yang pesimis. Realitanya? Inilah yang perlu kita sadari. Sebab , pujian bisa membuat kita lengah dan kritik bisa membuat kita sakit hati.
Bahwa pujian selalu menyenangkan, tidak boleh membuat kita lengah. Kalangan luar negeri, sudah tentu harus menenggang perasaan kita, ketika bertemu kita. Inilah etika pergaulan antar bangsa. Bahkan ketika Indonesia dilanda krisis di tahun 1997/1998 dulu , kalangan luar negeri itu masih memberikan pujian bahwa Indonesia berbeda dengan Thailand. Alasannya , fundamental ekonomi Indonesia kuat. Realitanya? Ketika kita dilanda krisis, Indonesia paling sulit untuk pulih kembali. Pujian diwaktu itu , kemudian menjadi kritik yang tajam.
Lalu bagaimana dengan kritik dari dalam negeri, yang sering membuat kita pesimis? Mungkin benar , bahwa kita harus membedakan kritik yang jujur dan kritik yang dilatarbelakangi kepentingan politik/pribadi. Yang pertama, diberikan secara konsisten, karena melihat realita yang memang kurang menggembirakan. Yang kedua, kritik itu bisa berhenti, ketika kepentingannya dipenuhi. Penyelesaiannya , dengan demikian lebih mudah. Tetapi kritik yang dilandasi prinsip-prinsip yang konsisten, yang dilandasi idealisme, terkadang memang lebih sulit penyelesaiannya.
Contohnya? Kritik tentang sistem berbangsa dan bernegara kita. Kritik terhadap sistem politik, ekonomi dan sosial budaya-yang sekarang sangat marak. Bagaimana kita bisa optimis, melihat sistem politik kita sekarang? Banyak partai, money politics dan lebih menonjolkan kepentingan golongan, etnis dan terkadang primordialisme? Antara wajah demokratisasi dan perpecahan bangsa tampaknya ibarat dua muka mata uang. Bagaimana kita bisa optimis, kalau sistem ekonomi kita akan menghasilkan ketidakadilan sosial? Bagaimana kita bisa optimis, kalau lunturnya nilai-nilai kebangsaan, konflik, fragmentasi sampai ke ancaman disintegrasi bangsa sedang menghantui kita semua? Siapa yang bertanggungjawab terhadap semua itu?
Demikian juga sistem ekonomi kita. Banyak gagasan memang sedang dilontarkan, namun semuanya masih harus diramu oleh para ”policy atau decision makers” negeri ini. Siapa itu? Para bapak-bapak dan ibu-ibu kita yang sekarang berada di DPR, MPR, DPD dan yang berada di eksekutif dan yudikatif termasuk ( tentunya) Presiden dan Wakil Presiden. Semua itu ingin kita kemukakan, sebagai peringatan, bahwa kita masih harus berhati-hati.
Sebagaimana sebuah keluarga , fundamental ekonomi keluarga itu akan kuat , kalau keluarga itu memiliki tabungan. Bagaimana dapat dikatakan ekonomi keluarga itu kuat , kalau (misalnya) banyak menanggung utang? Demikian juga negara. Kenyataan seperti itu, menimbulkan pertanyaan, apa salahnya bangsa ini? Sudah tentu tidak mudah menjawab pertanyaan seperti itu. Untuk itu, marilah kita bertanya pada hati nurani kita, semakin dekatkah kita dengan tujuan buat apa kita berbangsa dan bernegara? Ajaran agama mengatakan bahwa kita adalah orang yang merugi , kalau hari ini lebih buruk dari kemarin dan esok (akan) lebih buruk dari hari ini Bagaimana menurut Anda?
Oleh: Theo Yusuf Ms, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan SMSI “DAN saudara-saudara mengetahui bahwa Kemerdekaan…
Padang, infobanua.co.id – Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Putra Indonesia (UPI) YPTK Padang melaksanakan kegiatan sosialisasi…
infobanua.co.id - Ketua Umum Forum Pemred Media Siber Indonesia (SMSI), Dar Edi Yoga, didampingi Sekretaris…
Jakarta, 26 Desember 2024 – VRITIMES, platform distribusi siaran pers terkemuka di Asia Tenggara, resmi…
PT Bambang Djaja, pabrik trafo terkemuka di Indonesia, secara rutin melaksanakan kegiatan donor darah sebagai…
Port Academy, sebagai lembaga pelatihan terkemuka di Indonesia, telah berhasil mencetak ratusan tenaga kerja bongkar…