oleh: Pribakti B *)
Kata “Zaman” menunjuk suatu era, suatu babak, suatu periode sejarah kehidupan masyarakat atau bangsa. Kata itu identik dengan musim, tanda waktu, atau titimangsa dalam konsep Jawa. Pujangga Ronggo Warsito memiliki catatan dari periode gelap kebudayaan Jawa dalam masa penjajahan Belanda, yang disebutnya “Zaman Edan”. Isi catatannya sudah kita kenal secara luas , dan karena itu tidak perlu dibicarakan lagi disini.
Jangkauan idiom “Zaman Edan” begitu luas, dan menjadi sejenis rujukan tingkah laku untuk menghindarkan diri dari yang buruk dan menjadi panduan tingkah laku yang baik. Yang perlu kita garis bawahi dari catatan sejarah tersebut barangkali ini: beliau kecewa sekali memandang zaman itu, dan kekecewaannya dirumuskan bukan dalam bahasa sosiologi atau sejarah, melainkan bahasa hati dan ungkapan moral. Maka dengan sendirinya bersifat normatif, meminta apa yang harus ada dan tidak mau menerima keadaan sebagaimana adanya.
Dengan kata lain, sang Pujangga menolak zaman itu dan mengindikasikan tampilnya zaman lain-bisa juga kembalinya apa yang dulu dianggap baik-yaitu zaman ketika manusia masih terampil mawas diri, menjadi eling, ingat lan waspada, cermat dan hati-hati. Para penipu, pencuri dan pemeras dianggap wong lalai yang tidak waspada. Kita diminta tetap dalam garis kesadaran moral dan tingkah laku yang tak menyimpang.
Maka ketika ada pejabat negara berbicara salah, tanpa komitmen, tanpa pemihakan yang jelas pada suatu nilai, pada suatu gagasan dan tak memperlihatkan kesungguhan sebagai pemimpin, ini tanda patologi yang serius. Lebih parah. Jadi kita tak bisa lagi menyebutnya sekadar zaman edan biasa, melainkan dalam idiom Jawa diatas, “Zaman Edan – edanan”.
Artinya telah terjadi zaman “rusak-rusakan”, zaman “hancur-hancuran” karena mereka yang hidupnya kelihatan waras pun bertindak seperti orang yang secara psikologi mengidap gangguan serius. Dalam bahasa psikiatri disebut “psikosis”. Keadaan ini satu strip lebih tinggi daripada mereka yang terkena “neurosis” yang saraf-saraf kesadarannya tidak beres. Kita tidak tahu apakah kehidupan seluruh pejabat negara sudah terkena “neurosis” dan telah meningkat menjadi “psikosis”?
Kalau jawabnya, “ya” benar, saya tidak akan kaget sama sekali. Sebab , bagaimana mungkin para calon pejabat yang disumpah dengan sumpah suci secara agama pun dan dipilih secara sangat ketat, juga disempurnakan dengan fit and proper test, kok tidak pernah menghasilkan orang baik, yang bekerja untuk bangsa dan bersedia membangun komitmen buat kebaikan bersama?
Ini terlihat sesudah disumpah, mereka memuaskan diri dengan korupsi dan melanggar sehebat-hebatnya semua sumpah itu. Tapi tak ada satupun dari mereka yang kualat. Adakah ini salah sang rohaniwan yang tak berwibawa adan tidak memiliki kompetensi rohani secukupnya? Mengapa pejabat korup yang melanggar sumpah itu hidupnya malah mulus, makmur, masih dipuja-puja media dengan kekaguman yang tak disembunyikan? Dua pihak, yang kagum dan yang dikagumi sama-sama telah kehilangan rasa malu.
Sekali lagi, apakah semua ini hanya omong kosong besar, apakah semua tes dan proses pemilihan calon pejabat itu juga hanya memperlihatkan tanda bahwa para aparat penting pemerintahan sudah mengidap kesintingan ? Atau mereka semua itu memang bahlul yang tak lagi tahu malu karena saraf-sarafnya sudah terkena neurosis pada tingkat yang sudah serius?
Dan kalau ini disebut bukan bahlul, maka mari kita ubah kamus dan kosa kata itu dari kesadaran kita. Kita anggap saja, ini sikap “edan-edanan” tak menentu. Sudah banyak orang mencuri dilindungi kawan-kawannya, seperti layaknya dunia mafia dan dunia bawah tanah. Apa maknanya bila bukan ”edan-edanan” , tidak waras yang diciptakan secara sengaja supaya terlepas dari perkara dan jerat hukum?
Inilah tanda “Zaman Edan-edanan” berkuasa atas segenap kewarasan dan cara kita memandang hidup. Nilai-nilai etika dan norma, bahkan moralitas dan kesucian ajaran agama telah mereka kencingi habis-habisan. Pertanyaannya, apakah pantas kita mengharap mereka waras kembali, dan sadar bahwa mereka pernah salah? Lalu, apakah yang mencuri mengembalikan hasil curiannya kepada negara? Tidak. Yang mencuri menyusun kekuatan baru, untuk tampil lagi, kelak sesudah “zaman” memungkinkan. Lalu apakah itu bakal terwujud secara mulus? Kita tidak tahu. Kita hanya tahu satu hal: mereka yang “edan-edanan” mengencingi etika dan keluhuran nilai-nilai dan moralitas itu suatu saat tidak akan bisa kencing sama sekali. Dan kita tahu bagaimana kelanjutannya. Menurut Anda, bagaimana?
*) dokter senior RSUD Ulin Banjarmasin
Hedera Hashgraph (HBAR) terus menunjukkan potensi besar dengan menjalin kemitraan bersama lebih dari 30 perusahaan…
Dumai, Jakarta – Pemerintah Kota Dumai melalui Sekretaris Daerah (Sekda) H. Indra Gunawan mengapresiasi kerja…
Kota Tegal, infobanua.co.id - Dihadiri PJ Walikota, CEO SRLAND Properties, Forkopinda, Polres Tegal Kota, Kepala…
BATULICIN, infobanua.co.id - Jajaran Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu melalui Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (Kesbangpol)…
Perlu cara yang lebih efektif untuk bisa bersaing dengan kompetitor di era digital yang dinamis…
Jakarta, 20 Desember 2024 – VRITIMES, platform terkemuka yang mendistribusikan siaran pers ke jurnalis di…