Tren kekerasan di Sekolah Meningkat: Refleksi Kegagalan Sistem Pendidikan?
Oleh: Metra Wiranda Putra
Tingkat kekerasan di lingkungan sekolah Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Data yang diperoleh dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengungkap sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di lembaga pendidikan sepanjang 2024. Angka itu meningkat 100 persen dibanding 2023.
Tren kenaikannya sangat mengkhawatirkan. Dimulai dari tahun 2020 ada 91 kasus, lalu 142 kasus ditahun 2021, lalu 197 kasus ditahun 2022, kemudian 285 kasus ditahun 2023 dan sekarang melonjak tajam menjadi 573 kasus tahun 2024.
Varian kekerasannya beranekaragam dengan persentase yaitu kekerasan psikis 11 persen, kekerasan fisik 10 persen, kebijakan diskriminatif 6 persen dan kekerasan seksual yang tertinggi 42 persen dan diurutan kedua kasus perundungan (bullying) 31 persen.
Sekolah yang seharusnya tempat ternyaman para siswa dalam menuntut ilmu, mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan karakter. Seakan-akan sekarang mulai kehilangan fungsinya. Sekolah tidak lagi ramah dan aman bagi peserta didik dalam menuntut ilmu akhir-akhir ini.
Dengan melonjaknya kasus kekerasan dilingkungan sekolah, bentuk representasi sistem pendidikan sekarang.
Kenapa demikian? Bisa saja Orientasi dan Pola pembelajaran sekarang tidak mampu lagi menjawab perkembangan zaman.
Berikut ini bisa saja menjadi faktornya
1. Sistem pembelajaran yang tidak lagi mengutamakan pendidikan karakter bagi siswa.
2. Metode pengajaran yang otoriter dan tidak demokratis
3. Sistem pembelajaran yang hanya memprioritaskan prestasi akademik semata
4. Lemahnya peran guru dalam mengatasi konflik siswa didalam kelas
5. Kebijakan yang Deskiriminatif yang berkesan tidak adil.
6. Mata pelajaran muatan lokal dan mata pelajaran keagamaan yang tidak diprioritaskan.
Faktor-faktor ini bisa saja menjadi pemicu meningkatnya kasus kekerasan dilingkungan sekolah, orientasi pelajaran yang hanya mengedepankan prestasi akademik dan tidak diimbangi dengan penanaman nilai-nilai moral dan pendidikan karakter di sekolah.
Berikut beberapa solusi untuk mengatasi kekerasan dilingkungan sekolah:
1. Membuat peraturan khusus untuk anti kekerasan
2. Penanaman dan penguatan nilai-nilai religius kepada siswa
3. Rapat rutinan antara guru, orang tua dan siswa untuk mengevaluasi perkembangan siswa dan permasalahan siswa dalam kelas.
4. Meningkatkan komunikasi guru, orang tua dan siswa
5. Membangun lingkungan yang positif dan mendukung kreatif siswa.
6. Mengaktifkan kembali wadah pengembangan diri untuk siswa, seperti organisasi keterpelajaran IPNU, IPPNU, OSIS, Pramuka untuk penyaluran energi positif siswa dan pengembangan diri siswa
7. Metode pembelajaran yang asik, menarik dan tidak membosankan
8. Komunikasi antar guru terus intens, agar bisa berinteraksi dan mengetahui perkembangan siswa.
9. Penyamaan perlakuan ke semua siswa.
10. Peningkatan kuantitas, kapabilitas guru bimbingan konseling disekolah. Sebab guru konseling sangat berpengaruh dalam memberikan edukasi, pembinaan kepada siswa bermasalah.
11. Terus mengkampanyekan anti kekerasan sebelum dimulainya proses belajar mengajar didalam kelas, terutama di hari Senin ketika upacara.
12. Memberikan edukasi kepada siswa tentang apa itu kekerasan dan bagaimana pencegahan dan penyelesaiannya.
13. Membentuk satgas Anti kekerasan di sekolah.
Jika hal-hal ini bisa diterapkan dilingkungan sekolah dengan baik. Segala bentuk tindakan kekerasan tidak akan terjadi dilingkungan sekolah. Baik itu kekerasan secara psikis, fisik serta kekerasan antar siswa dengan siswa, guru dengan siswa.
Untuk menjalankan metode pelajaran seperti ini, tentunya perlu ada dukungan dari pemerintah, orang tua, lembaga sosial, organisasi keterpelajaran dan masyarakat sebagai pengontrol dan mengawasi segala bentuk kekerasan dilingkungan sekolah.
Untuk kedepannya tahun 2025 adalah momen resolusi terhadap sistem pendidikan Indonesia yang lebih bermartabat mengutamakan pendidikan adab tanpa mengesampingkan kecerdasan akademik siswa. Kemudian menambah jam pelajaran agama dan mata pelajaran muatan lokal agar pondasi dan pemahaman keagamaan siswa semakin kuat dan tidak mudah tergoncang oleh segala bentuk gempuran globalisasi dan segala bentuk kekerasan bisa terminimalisir.
Ketua PW IPNU Sumbar