Dari Membaca, Kita Bisa
Oleh: Pribakti B
Tidak bisa dipungkiri kemajuan sekarang ini dapat diperoleh dengan membaca. Hal ini sering kurang disadari masyarakat Indonesia karena dulu tradisi membaca adalah tradisi para bangsawan dan pemimpin agama. Rakyat jelata tidak membaca. Rakyat belajar secara lisan. Mereka belajar dengan mendengarkan wejangan, melihat tontonan, menguping obrolan teman. Pengetahuan lalu menjadi monopoli pihak tertentu dan perorang . Orang dapat pelit dalam penyebaran pengetahuan.
Di zaman modern, tradisi membaca mulai diperkenalkan lewat sekolah model barat. Disanalah kaum muda mulai mengenal tradisi membaca untuk memajukan pengetahuan dirinya. Barang siapa mau maju di dunia ini harus banyak membaca, Artinya harus banyak belajar sendiri. Setelah lebih lebih dari satu abad bangsa Indonesia mengenal budaya membaca ternyata masih amat lamban kemajuannya. Tradisi membaca masih belum tertanam merata. Hanya orang tertentu yang mau menyisakan uangnya untuk membeli buku. Bahkan kadang orang heran apabila menyaksikan tetangganya memiliki rak buku yang memenuhi seluruh kamarnya. “Apakah buku-buku itu dibaca semua?” tanya mereka. Pertanyaan khas dari orang yang tak kenal budaya baca.
Memang membaca belum merupakan kebutuhan hidup . Untuk membaca, orang tak perlu cukup sandang, cukup pangan, cukup papan. Justru dengan membaca, orang dapat mengatasi masalah pangan, sandang dan papannya. Kita boleh miskin harta, tetapi jangan miskin pengetahuan. Dengan pengetahuan, kita dapat mengatasi kemiskinan harta. Sejarah orang otodidak adalah sejarah sukses orang membaca, dalam arti orang yang mau belajar sendiri tanpa guru. Guru mereka adalah buku. Guru mereka adalah para pengarang mashur dari seluruh dunia.
Ada pepatah mengatakan “Universitas yang sesungguhnya adalah perpustakaan”. Jadi, kalau Anda memiliki perpustakaan, maka Anda memiliki pendidikan universitas , apabila Anda mau tekun membaca koleksi buku tersebut. Hambatan utama mengembangkan hobi membaca adalah kurangnya perpustakaan umum di Indonesia. Rupanya pemerintah belum tergugah untuk mengembangkan perpustakaan umum. Justru yang menjamur adalah perpustakaan buku hiburan yang justru mengendorkan semangat belajar. Buku semacam itu adalah bagian dari kenikmatan modern. Orang diajak santai. Perpustakaan pengetahuan masih amat kurang dikembangkan.
Dengan adanya perpustakaan umum, kesempatan bagi mereka yang mau maju dengan belajar sendiri dapat dipenuhi. Jumlah orang yang mau maju dengan membaca ini tentu cukup besar jumlahnya. Ini tampak dari mereka yang “mencuri membaca” di toko buku. Apakah pihak toko buku tidak dapat beramal dengan “menyulap” sudut tokonya menjadi perpustakaan? Bukankah mereka dapat memasukkan buku-buku “sisa” ke dalam perpustakaan itu? Mudah-mudahan ada yang mau memulainya.
Hambatan lain berkembangnya budaya baca adalah serangan media elektronik yang menjanjikan informasi audio-visual. Rata-rata media ini juga lebih berfungsi sebagai hiburan daripada sumber belajar. Kenikmatan memperoleh informasi dan hiburan secara santai ini dengan sendirinya dapat mengendorkan minat membaca yang lebih membutuhkan konsentrasi pikiran.
Sekali lagi, budaya santai adalah musuh utama budaya baca. Budaya baca memerlukan ketekunan, kerja keras, kreativitas. Ini semua modal dasar. Tanpa niat kuat untuk menguasai pengetahuan yang diminatinya, tentu tak akan berkembang budaya baca. Hal ini sebenarnya sudah dikembangkan lewat sekolah. Anak-anak tidak hanya disuruh mendengarkan guru, tetapi lebih banyak ditugasi membaca dan menuliskan pikiran serta pengetahuannya.
Tradisi sekolah kita adalah tradisi guru-murid, dan bukan buku-murid. Seharusnya guru sekadar mentor yang memberi petunjuk cara membaca dan mencari pengetahuan lewat buku. Juga , cara merekam ilmu untuk diri pribadi. Anak sekolah sekarang, diminta membuka ensiklopedia pun tak tahu caranya. Ini menyedihkan.
Bagaimana bangsa ini dapat maju kalau semangat membacanya begitu rendah? Budaya baca sudah waktunya mesti dipikirkan pemerintah Prabowo-Gibran. Proyek besar membeli buku untuk dimasukkan dalam perpustakaan sudah mesti dipikirkan pula. Tentu perlu lebih dahulu dikembangkan budaya baca, baru disediakan bukunya. Sesungguhnya kemiskinan materi dan rohani dapat diberantas dengan budaya baca juga. Ini lebih murah, dan sekaligus mendidik manusia untuk tekun serta mau bekerja keras. Semoga.