Dokter Itu Kaya, Yakin?

Dr.dr.Pribakti B,SpOG(K)

 

Semua tahu bahwa  biaya program pendidikan kedokteran di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, lebih mahal dibandingkan program studi lain. Selain karena sumbangan pembinaan pendidikan yang cukup besar , juga Uang Kuliah Tunggal (UKT) per semester yang bisa mencapai  hingga puluhan juta rupiah Ditambah lagi biaya hidup dan  buku selama pendidikan di Fakultas Kedokteran , 6 tahun untuk  dokter umum dan 4-5 tahun  untuk dokter spesialis.

 

Hingga saat ini, banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi dokter .Tidak heran meski mahal dan lama pendidikannya, profesi ini tetap saja diminati. Bisa jadi karena dokter adalah simbolisasi kemewahan (kaya) di masyarakat kita. Bahkan banyak orang tua yang tidak lagi sungkan-sungkan mau membayar agar anaknya bisa masuk Fakultas Kedokteran .

 

Padahal realitanya menjadi dokter umum di era JKN ini penghasilannya tidak  sebanding dengan biaya yang dikeluarkan selama pendidikan. Mereka mayoritas belum sejahtera , hidup pas-pasan , jadi ” buruh dokter” dengan gaji UMR. Dan kalau pun mereka praktek mandiri  sudah tentu kalah bersaing dengan dokter spesialis .    Salah satu penyebabnya  karena  akibat  melimpahnya produksi dokter umum dan makin sedikit lapangan kerja yang tersedia .Data terbaru menyebutkan sekarang ada 122 Fakultas Kedokteran negeri dan swasta di Indonesia, dengan produksi sekitar 12.000 – 13.000 dokter umum  setiap tahunnya. Produk ini dipastikan akan meningkat 2 kali lipat dalam waktu 5 tahun ke depan seiring dengan terus bertambahnya Fakultas Kedokteran .

 

Terlepas dari itu,  yang paling penting dan harus diutamakan adalah setiap lulusan dokter  harus selalu mempertahankan tradisi luhur kedokteran. Tradisi luhur ini adalah berusaha semaksimal mungkin mempertahankan tiga prinsip , yaitu transendensi , liberasi dan humanisasi.

 

Diantara ketiganya, yang seharusnya menjadi spirit paling utama adalah transendensi. Transendensi atau “transcedence” (dalam bahasa Inggris ) adalah konsep yang merujuk pada ide bahwa ada sesuatu di luar atau melampaui batas dunia fisik atau pengalaman manusia yang terbatas . Ini adalah gagasan tentang eksistensi atau keberadaan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih kuat, atau lebih tinggi dari realitas fisik yang dapat kita amati atau alami.

 

Dalam bahasa awamnya transendensi itu adalah Ketuhanan. Setiap dokter  mesti selalu memiliki prinsip bahwa segala niat dan yang dilakukannya sebagai dokter adalah karena ingin mencari keridhaan Tuhan, bukan mencari ketenaran atau sekadar mencari uang. Setiap pendidikan dokter  mesti menegaskan hal ini sebagai titik tolak pendidikan mereka.

 

Bila prinsip ini dilakukan atau disadari dengan baik, maka nilai-nilai luhur seorang dokter dapat dipertahankan. Dengan demikian , marwah dan eksistensi dokterpun akan selalu terjaga. Tetapi bila niat dan kegiatan tidak didasarkan pada keinginan mencari ridha Tuhan , maka akan muncul banyak deteriorasi dalam pendidikan dan pekerjaan profesi dokter.  Deteriorasi adalah proses penurunan kualitas atau mutu, atau kemunduran.

 

Konkritnya , kalau saja semua  , baik yang menyelenggarakan ataupun yang mengikuti pendidikan dokter menyadari akan nilai transendensi ini, maka kejadian dokter yang memfitnah sejawatnya- seperti kasus cath lab di Pangkalpinang Bangka yang heboh itu tidak akan terjadi . Bukankah yang namanya rejeki itu tidak  akan tertukar? Jadi, bagaimana? Masih berani jadi dokter ?