infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Pendidikan Dokter Mestinya Ditanggung Negara

Pendidikan Dokter Mestinya Ditanggung Negara

(Refleksi Hari Dokter Nasional, 24 Oktober)

Oleh: Pribakti B *)

Semua tahu biaya kuliah pada program studi pendidikan dokter di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, lebih mahal dibandingkan program studi lain. 

Sumbangan pembinaan pendidikan uang kuliah tunggal per semester bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Belum lagi biaya hidup perbulan dan pembelian buku-buku kedokteran standar .

Dulu di masa Orde Baru, biaya kuliah fakultas kedokteran khususnya di universitas negeri relatif terjangkau, termasuk bagi masyarakat kurang mampu. Mahalnya biaya kuliah pendidikan dokter, baik dokter umum maupun dokter gigi, sangat terasa sejak reformasi, khususnya sejak perguruan tinggi mendapat status badan hukum milik negara .

Besarnya dana yang diperoleh dari pendidikan dokter membuat banyak universitas swasta mengajukan pendirian fakultas kedokteran. Maka jumlah fakultas kedokteran pun melonjak drastis 2008-2010. Dalam rentang dua tahun itu, jumlah fakultas kedokteran naik 38 persen dari 52 menjadi 72 fakultas.

Meski baru berdiri, banyak fakultas kedokteran menerima mahasiswa baru sampai 100 mahasiswa per tahun. Padahal, ketentuan maksimum jumlah mahasiswa yang boleh diterima pada tahun pertama fakultas kedokteran hanya 50 mahasiswa.

Akibatnya jumlah mahasiswa yang besar tak didukung rasio dosen dan mahasiswa 1 : 10 untuk tahap preklinik dan 1 : 5 untuk tahap klinik. Alat peraga dan peralatan laboratorium lain juga tak memadai, demikian pula rumah sakit pendidikan yang dimiliki. Ini membuat KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)  belakangan menghentikan pemberian izin pendirian fakultas kedokteran baru meski banyak pihak menentang.

Mahalnya pendidikan dokter berimplikasi pada banyak hal, mulai dari kualitas mahasiswa yang masuk, kualitas lulusan yang dihasilkan, hingga dampak pada sistem kesehatan dan pemenuhan hak rakyat untuk hidup sehat. Dokter menumpuk di kota besar dan enggan bertugas di daerah, apalagi daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.

Keinginan mengembalikan biaya pendidikan dokter yang besar dan niat melanjutkan pendidikan dokter spesialis yang sangat mahal membuat banyak praktik kedokteran yang menyalahi disiplin dan etika dokter.Praktik menyimpang itu antara lain diagnosis serampangan, peresepan dan pemeriksaan laboratorium yang tak rasional, hingga perselingkuhan dokter  dengan perusahaan farmasi.

.

Kerumitan ini bertumpu dari ketidakjelasan pemerintah dalam memandang fungsi dokter. Pentingnya fungsi dokter menjaga kesehatan seluruh warga negara sama halnya dengan fungsi tentara yang menjaga pertahanan dan keamanan negara atau polisi yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun , pendidikan tentara dan polisi tak menimbulkan masalah karena semua biaya ditanggung negara. Lulusan akademi militer ataupun akademi kepolisian pun dapat ditempatkan dan dipindahkan ke seluruh wilayah Tanah Air karena negara menjadikan tentara dan polisi sebagai tenaga strategis, sedangkan dokter belum.

Padahal pasal 34 Ayat 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menyebutkan, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Amal Chalik Sjaaf mengatakan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan ini bukan hanya gedung atau tempat tidur pasien, melainkan juga penyediaan peralatan medik dan tenaga kesehatan. ”Ini berarti, semua tenaga kesehatan itu, termasuk dokter, adalah tenaga strategis,” katanya.

Artinya, posisi dokter setara tentara dan polisi. Karena itu, biaya pendidikan dokter mestinya  ditanggung negara. Hanya dengan cara ini, negara dapat ”memaksa” dokter untuk bertugas di seluruh pelosok Nusantara. Pemerataan dokter ini mendesak dilakukan karena setiap warga negara berhak untuk hidup sehat.

Jika tidak segera dilakukan, pelaksanaan sistem jaminan kesehatan semesta  yang memberikan akses layanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dan kurang mampu terancam gagal akibat tidak ada dokter di daerah-daerah tertentu.

Di negara lain yang lebih kapitalis, seperti Singapura, sebanyak 80 persen biaya pendidikan dokter ditanggung negara. Sisanya, mahasiswa dapat meminjam dari bank dengan bunga yang ditekan negara seminimal mungkin. Tak ada aturan mereka harus bekerja untuk Pemerintah Singapura.

Namun, mereka selalu diingatkan bahwa yang membiayai kuliah mereka adalah rakyat. Jika mahasiswa kedokteran di Indonesia tetap diwajibkan menanggung sebagian besar biaya pendidikannya, memang keharusan bertugas di daerah terpencil merupakan hal yang Sungguh tidak adil. Apalagi ,  tidak ada kejelasan jenjang karier dan pendidikan lanjutan bagi mereka setelah selesai bertugas. Dan bila ditanya peran negara terhadap profesi dokter baik perlindungan hukum, tunjangan , jaminan kesehatan dan pendidikan untuk anak-anaknya  juga masih minim. 

Para dokter Indonesia masih harus berjuang sendiri untuk kesejahteraan hidupnya yang bukan dijamin oleh pemerintah dan negara. Yang perlu diingat bahwa menjadi dokter di Indonesia adalah sebuah pilihan hidup yang memiliki tujuan mulia serta mengedepankan rasa kemanusiaan, sebuah profesi yang diharapkan oleh masyarakat masih mempunyai hati nurani disaat oleh profesi lain dianggap sepi. Selamat hari Dokter Nasional, 24 Oktober!

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan