Beda Malpraktek dan Resiko Medik
oleh: Dr.dr.Pribakti B, SpOG(K) *)
Gugatan dari masyarakat terhadap profesi dokter dengan tuduhan malpraktek seakan tidak henti-hentinya mencuat di pemberitaan publik .
Belakangan ini ramai di medsos adanya dugaan malpraktek yang dilakukan seorang dokter di Rumah Sakit Daerah Ulin Banjarmasin ( http://kalselpos.com/2020/11/12). Kasus-kasus yang menjadikan dokter sebagai pelaku atau tersangka seolah-olah menjadi ladang subur bagi media untuk dikupas dan diekspos layaknya pemberitaan para selebritis.
Tuntutan keluarga korban tidak hanya ditujukan bagi pemilik rumah sakit, direktur rumah sakit, namun lebih kepada penanganan yang dilakukan oleh pihak dokter terhadap pasien. Dari mulai tuduhan kesalahan diagnosis, kesalahan penanganan, hingga hal-hal yang bersifat administrasi di rumah sakit.
Harus diakui di masyarakat kita termasuk para pengacara/ahli hukum masih rancu pengertian akan keduanya. Ada yang resiko medik tapi dianggap malpraktek .
Demikian sebaliknya. Lalu apa beda malpraktek dan resiko medik?. Secara harfiah, malpraktek terdiri dari dua kata yaitu “mal” yang berarti “salah” dan “praktek” yang berarti “pelaksanaan” atau “ tindakan” sehingga malpraktek berarti “ pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Jika melihat pengertian harfiah tersebut, kata “malpraktek” bisa dikenakan kepada siapa yang melakukan tindakan atau pelaksanaan atas dasar keahliannya. Dengan kata lain, istilah malpraktek lebih melekat kepada kalangan profesional sehingga oleh beberapa ahli bahasa lebih banyak yang menggunakan istilah professional misconduct.
Malpraktek adalah “sikap tindak profesional yang salah dari seorang profesi , seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan oleh sikap tindakan yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kurang kehati-hatian didalam melaksanakan kewajiban profesinya, tindakan salah yang disengaja atau praktik yang bersifat tidak etis.
Dalam pemahaman awam , malpraktek lebih melekat kepada kesalahan tindakan yang dilakukan oleh dokter sehingga dikenal istilah “malpraktek medik”. Walaupun kata-kata malpraktek secara hukum hanya dikaitkan dengan kelalaian medik.
World Medical Association membuat batasan malpraktek yang juga sejalan dengan batasan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu: “ adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien , atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terjadinya cedera pada pasien”.
Lebih lanjut mengenai malpraktek medik, istilah ini kemudian berkembang tidak hanya dikenakan kepada dokter semata, namun dikenakan pula kepada tenaga kesehatan lain.
Dalam pemaparan diatas tentang malpraktek, ada istilah lain yang masyarakat belum memahami apa istilah yang terjadi dalam pelayanannya. Ada yang dikenal dengan resiko tindakan medik yang memiliki makna sangat luas. Resiko medik terbangun dari kata “resiko” dan “medik”.
Resiko sendiri berasal dari kata “risk” yang dalam bahasa Inggris berarti ada kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak baik di kemudian hari; situasi yang dapat membahayakan atau mempunyai hasil yang tidak baik.
Sedangkan pengertian tindakan medik menurut Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 , dengan pengertian tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis, berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
Jadi resiko tindakan medik dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses pengobatan, seperti pada penegakan diagnosis, saat dilakukan operasi, penentuan obat dan dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya.
Resiko medik juga dapat terjadi disemua tempat dilakukannya pengobatan misalnya di rumah sakit, klinik, praktik dokter, apotik, dirumah pasien, di tempat umum (pada kegiatan imunisasi, bakti sosial misalnya) dan lain-lain.
Dalam beberapa literatur yang berkenaan dengan “medical risk” diketahui ada perbedaaan antara risiko relatif dan risiko mutlak. Resiko relatif tindakan medik artinya resiko itu bersifat individual dan tidak diperkirakan sebelumnya, sedangkan resiko mutlak bersifat umum. A
rtinya, semua orang yang mendapatkan tindakan medik itu akan mendapatkan resiko yang sama dan sudah diperkirakan sebelumnya. Resiko relatif dicontohkan dengan orang yang tanpa diketahui sebelumnya ternyata tidak tahan dengan suntikan antibiolotik penciline sehingga menyebabkan reaksi anafilaktik . Resiko mutlak misalnya rontoknya rambut setelah sering menjalani kemoterapi kanker.
Dalam perspektif medis, para dokter tidak dapat disalahkan jika terjadi kesalahan medik, kecelakaan medik, kelalaian medik. Hal-hal ini terjadi diluar kemampuan dan prediksi pasti dari dokter. Dokter sudah melakukan segala sesuatunya dengan benar dan adekuat sesuai Standar Operasional Pelayanan (SOP) yang disesuaikan juga dengan kondisi dan situasi fasilitas pelayanan.
Prinsip pelayanan kedokteran ditekankan kepada upaya, bukan pada hasilnya. Oleh karena itu, dalam sumpah dokter dilafazkan “Saya akan berikhtiar dengan sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien”. Ikhtiar berarti upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan mengutamakan kepentingan pasien.
Sisi lain yang menjadi pertimbangan dalam penetapan ada tidaknya tindakan pidana dalam malpraktek medik adalah harus adanya unsur niat melakukan kejahatan. Sedangkan dalam menjalankan profesinya setiap dokter terikat sumpah dokter yang mewajibkan setiap yang melafazkannya untuk menjalankan profesi luhur tersebut dan mempertanggungjawabkannya dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, dalam perjalanannya sangat sulit membuktikan ada unsur pidana dalam akibat tindakan kedokteran. Lalu apakah akibat pelayanan medis dapat dipidana? Jawabannya dapat. Sebab dalam pertimbangan hukum ada yang disebut “ benda tersebut yang berbicara” (the thing speaks for itself).
Walaupun doktrin ini lebih banyak dipakai dalam perkara perdata, namun untuk kasus-kasus tertentu terkadang dipakai dalam perkara pidana. Seperti contoh kasus pembuatan surat kematian palsu yang langsung dibuktikan dengan tidak adanya jenasah yang diterangkan dalam surat , kesalahan mengamputasi dan lain sebagainya.
Maka dari itu untuk mengeleminir kondisi yang tidak diharapkan dari pelayanan kedokteran maka organisasi profesi berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengajak seluruh anggotanya untuk terus mempertahankan serta meningkatkan kompetensinya.
Hal ini bertujuan untuk tetap memberikan mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Kehati-hatian dalam melakukan pelayanan, dengan tetap mengikuti standar pelayanan yang ditetapkan serta melakukan upaya semaksimal mungkin berdasarkan kemampuan yang ada, tetap harus dikedepankan oleh setiap dokter yang memberikan pelayanan.
Pasien selaku pengguna layanan kedokteran mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu tanpa harus menuntut hasil. Namun , pasien juga memiliki kewajiban untuk secara kooperatif bersama dokter dan tenaga kesehatan lain untuk menghasilkan pelayanan yang tepat.
Di negara yang telah berkembang pemahaman akan hukum kesehatannya, setiap sengketa terkait pelayanan kedokteran diselesaikan melalui jalur nonlitigasi atau melalui jalaur mediasi. Melalui jalur mediasi dapat diperoleh win-win solution yang dapat memberikan manfaat bagai pasien atau keluarga dan dokter.
Hal ini bukan berarti menutup tanggung jawab bagi dokter dalam mempertanggungjawabkan akibat dari seluruh tindakannya jika terbukti melakukan pelanggaran. Semoga bermanfaat.
*) Ketua Komite Etik dan Hukum RSUD Ulin Banjarmasin