infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Politisi dan Lupa

Politisi dan Lupa

oleh: Pribakti B *)

Dalam soal penciptaan makhluk, Tuhan memang diskriminatif. Beruntunglah kita manusia yang telah menjadi korban diskriminasi Tuhan. Bayangkan saja, cuma manusia satu-satunya makhluk  yang dikaruniai sifat lupa. Malaikat tidak pernah lupa. Setan, iblis dan sejenisnya juga tidak. Lupa memang sebuah kelemahan. Tetapi dengan lupa, manusia bisa hidup, bertahan, tidak stres, dan bahkan masih sempat tertawa-tawa ketika problema sudah menumpuk setinggi leher.

 

Dengan lupa pula , kita bisa terhindar dari malu yang mungkin bisa membuat kita kehilangan muka di depan umum. Begitu pentingnya lupa bagi manusia, sampai-sampai ia menjadi identitas manusia itu sendiri. Buktinya ada pernyataan bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa. Perlu diingat, lupa bisa mengakibatkan kefatalan, namun tidak jarang justru lupa adalah berkah. Seseorang yang melakukan kesalahan karena lupa, bisa terlepas dari tanggung jawab.

 

Bahkan pada salah satu kesempatan, Tuhan memberi kita berkah melalui mekanisme lupa. Contoh ketika kita sedang menjalani puasa, karena lupa, kita makan-minum sampai kenyang, alhasil puasa kita tetap sah. Dan kita pun boleh melanjutkan puasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Alangkah nikmat dan indahnya lupa. Demikian juga ketika kita sudah  lanjut usia (lansia), kita pikun, agak tuli , rabun dan lupa hal-hal penting. Orang lansia sering lupa bahwa  ia baru saja makan atau mandi, atau minum susu dan mengatakan pada tetangga bahwa anak-anaknya tak mengurusnya dengan baik.

 

Ini perkara sensitif dan memalukan bila didengar orang lain. Tapi harus bagaimana lagi memang begitulah kelakuan orang lansia. Mereka ibaratnya menjadi anak-anak kembali. Dan lupa sudah menjadi sejenis pakaian yang melekat pada tubuhnya. Ajaran agama menyuruh kita tabah dan tulus mengabdi pada orang tua macam itu. Siapa tahu kita saat lansia diam-diam  lebih merepotkan bagi anak cucu yang hidupnya mungkin juga sudah kelewat repot.

 

Namun, kita harus tetap bersyukur karena umur panjang  adalah karunia Tuhan yang tak melimpah pada setiap orang. Bukankah banyak orang berdoa agar diberikan umur panjang? Tuhan terus dibujuk-bujuknya, pagi, siang , sore, malam dan pagi lagi, agar berkenan memberi umur panjang, dengan mengabaikan kenyataan bahwa kita bagian dari alam . Tunduk pada hukum-hukum alam.

 

Begitulah, para lansia sering jadi pelupa, walau lupa juga banyak terjadi pada orang muda. Beda dengan kalangan orang-orang istimewa yang namanya politisi. Mereka yang tua dan muda sekalipun banyak lupa akan hal-hal penting merupakan perkara mudah. Lupa bisa diatur. Lupa merupakan lelakon perpolitikan di Indonesia yang kontemporer. Biasanya dilakukan buat melindungi nama baik yang belum pernah , yang mungkin tak akan pernah mereka miliki. Itu sebabnya mereka tahu kapan harus lupa, menyangkut apa, berapa jumlahnya, dengan siapa urusan tersangkut, untuk kepentingan politik apa, dan untuk keberapa ratus kalinya. Semua bisa dirancang sendiri di rumah , bisa pula dengan ngopi dan rokokan di kantor dengan teman-teman dalam partai.

 

Kata orang bijak, lupa dalam politik itu mah biasa. Bukan perkara tidak ingat, melainkan senjata bagi orang yang tak ingin belajar bertanggung jawab. Di negeri ini, politik seolah artinya manipulasi, tipu-menipu dan teknik menggelapkan apa saja. Termasuk  ketika ada politisi dari sebuah partai  yang menolak kenaikan harga BBM. Mereka lupa dulu malah akting menangis saat bicara tentang mahalnya harga BBM . Maka senyampang cerita kisah politisi, menyebarlah cerita-cerita Mukidi di media sosial. Mukidi stories yang menyeleneh, aneh, naif , unik, menertawai diri sendiri seperti oase di tengah kesumpekan kehidupan termasuk pentas politik. Kisah-kisah Mukidi mengundang tawa dan menghibur. Kisah realita politisi juga kerap membuat kita terpingkal-pingkal. Jangan-jangan politisi kita lebih “lucu” dari Mukidi.

 

Di sisi lain panggung politik di negeri ini rasanya terlalu ironis. Sering kali sulit dibaca dengan kewajaran-kewajaran. Sampai-sampai ada anekdot bahwa teori politik manapun sulit diterapkan di Indonesia. Perilaku dan budaya politiknya sering kali membuat ”kepala pusing tujuh keliling”. Pasalnya, politik tidak menjadi proses pembuat kebijakan demi kemaslahatan publik, melainkan justru menjadi panggung berakting politisi dalam berburu kuasa.

 

Saat ini, dinamika politik juga terlalu memperlihatkan pragmatisme dan transaksional. Agaknya politik terlalu penuh dengan perilaku licik ketimbang sebagai suatu kebajikan. Sudah lebih dua dekade pasca reformasi, demokrasi di negeri ini rasanya masih jauh dari harapan bersih dan sehat. Perkembangan paling progresif dalam demokrasi adalah partisipasi langsung. Selebihnya demokrasi digandoli perilaku curang dan politik uang.

 

Dengan demikian, bagi politisi menjadi atau tak menjadi pikun , tuli , rabun dan pelupa , sebaiknya tak usah  berusaha paksa untuk umur panjang . Apa gunanya umur panjang kalau umur itu malah menjadi musibah? Apa enaknya dicerca, diburu-buru dan menimbulkan kemuakan publik? Banyak orang terkenal di mata dan di telinga publik, tapi dijauhi oleh hati publik, bahkan dijauhi dengan penuh rasa jijik, seperti mereka menjauhi jenis-jenis penyakit menular. Bisa jadi ini bagian dari siksa neraka yang sudah mulai dicicipi di dunia, karena umur panjang dan popularitas mereka menjadi tidak berkah.

Begitu banyak politisi yang saya kenal, dulunya kelihatan saleh dan sopan kepada Tuhan,  kemudian kini menjadi sulit untuk dipahami. Ini karena setelah jadi pejabat , mereka menyeret-nyeret dan menjebak Tuhan untuk memberkati penyimpangannya? Rupanya, bukan cuma rakyat yang ditipu , tapi juga Tuhan. Terus terang saya kagum pada keberanian macam itu, meskipun saya tak ingin belajar dari mereka. Karena sekali lagi, apa enaknya hidup  dicerca dan dijauhi sehingga  harus berlagak pikun dan pura-pura lupa?

Saya menyitir apa yang dikatakan Charles de Gaulle presiden Perancis (1959-1969) bahwa “ Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri, mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya”. Mestinya bila tak bisa menjadi politisi yang baik,  tak menjadi masalah, asal masih bisa menjadi manusia yang baik. Sebab manusia yang baik tak mungkin hidup dalam kepalsuan dan pura-pura lupa hal-hal penting yang mendasar dalam hidup, yang sudah pasti harus dipertanggung jawabkan pada publik  dan pada Tuhan . Satu hal yang penting , kita manusia tidak boleh lupa bahwa kekuasaan bukan tidak terbatas. Tidak boleh lupa juga bahwa manusia bisa menjadi korban lupa. Semoga kita semua menginsyafinya .

 

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan