Budaya Malu di Indonesia
oleh: Pribakti B *)
Malu adalah suatu akhlak yang sangat penting dalam kehidupan manusia . Karena rasa malu adalah kontrol alami agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Budaya malu sangat erat kaitannya dengan kemajuan peradaban masyarakat. Tingginya budaya malu di dalam suatu kelompok masyarakat akan menunjukkan kualitas moral masyarakatnya.
Budaya malu juga berkaitan dengan harga diri. Harga diri seseorang tidak terlepas dari perilaku yang dilakukannya setiap hari. Harga diri akan naik apabila seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji, sebaliknya harga diri akan turun jika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar norma-norma sosial. Setiap orang yang melanggar norma-norma tersebut akan mendapat celaan dari masyarakat, bahkan sanksi sosial. Celaan itu akan menciptakan kesadaran dan efek jera untuk tidak melanggar. Bila setiap pelanggaran norma dicela maka otomatis akan timbul budaya malu dalam diri seseorang.
Sebagai salah satu bentuk nilai, malu akan menjauhkan kita untuk bertindak patologis ke masyarakat luas. Lebih jauh lagi, malu akan menjadi “rem” untuk tidak bertindak negatif dan kontrol diri bahwa setiap tindakan harus pula mempertimbangkan keberadaan dan dampaknya bagi orang lain. Budaya malu juga akan mengarahkan kehati-hatian dalam mengambil keputusan, menjaga agar tidak berbuat semaunya sendiri karena banyak orang yang akan melihat, memantau dan menilai. Dengan memiliki malu sebetulnya akan membuat seseorang tidak lagi mempertimbangkan sesuatu berdasarkan egonya, sekaligus menjadi cermin bagi dirinya untuk selalu melihat segala sesuatu dari sisi orang lain.
Dalam era globalisasi sekarang ini yang telah menghapus dinding-dinding batas suatu negara, banyak budaya luar yang masuk sedikit banyak akan berpengaruh terhadap tradisi moralitas dalam masyarakat Indonesia. Namun bagi bangsa kita , sebetulnya budaya malu sudah menjadi bagian yang mendasar. Dari budaya malu inilah lahir moral kita yang baik, interaksi yang saling menghormati diantara berbagai perbedaan yang ada, etika yang baik, tutur kata yang santun sehingga pada akhirnya akan terbentuk komunitas yang harmonis dan serasi.
Sayangnya dalam perkembangannya “budaya malu” yang dulu menjadi skrining dan nilai untuk tidak melakukan perbuatan negatif mulai beringsut lenyap. Kini orang berlomba-lomba untuk “mempermalukan diri” atau “membuat malu”. Bahkan melenyapkan rasa malu dalam dirinya. Inilah salah satu hal yang membedakan dengan budaya orang Jepang yang akan turun dari jabatannya kalau mereka gagal, bahkan ada yang ber-hara kiri untuk menutupi rasa malu. Atau orang ras Madura yang memiliki filosofi “lebih baik berputih tulang daripada berputih mata (malu)”, ataupun orang Jawa yang akan mengisolasi dirinya kalau mendapatkan aib dalam tindakannya.
Di negara-negara yang masih tergolong tetangga kita: Thailand dan Korea Selatan, budaya malu sudah dipraktekkan. Di kedua negara ini, para pejabat negara yang lalai atau gagal menjalankan tugas, atau karena sesuatu hal kehilangan legitimasi, akan mundur secara sukarela. Thailand dan Korea Selatan bukan “negara Barat”. Keduanya masih serumpun dengan Indonesia sebagai sesama anggota ASEAN. Secara kultural, keduanya juga sangat dekat dengan Indonesia, memegang erat “budaya ketimuran”. Namun , politik di kedua negeri itu mampu melahirkan negarawan-negarawan yang mengedepankan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Sementara di Indonesia, umumnya para pejabat negaranya masih terpenjara oleh kepentingan diri dan partainya. Ketika muncul tuntutan mundur, akan senantiasa diartikan sebagai tuntutan lawan. Tetapi , pada saat pejabat negara tersebut diminta mundur oleh sejumlah anggota DPR , sang pejabat menyatakan bahwa dirinya bertanggung jawab kepada presiden. Soal mundur atau tidak, itu urusan presiden. Benar-benar tidak tahu malu. Ketidakmampuan diri sendiri tidak disadari. Sikapnya persis seperti anak belum akil balig yang berlindung di ketiak bapaknya pada saat ada serangan lawan.
Pada situasi demikian , saya teringat pada ungkapan pujangga Friedrich von Schiller yang pernah dikutip Bung Hatta ” Zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil”. Kita telah melalui banyak zaman yang sering kita sebut dengan orde. Tapi , dari sekian banyak orde, hanya sedikit melahirkan manusia berjiwa besar seperti Bung Hatta yang secara elegan mengundurkan diri pada saat merasakan ada penyelewengan demokrasi pada era kepemimpinannya (bersama Bung Karno)
Bung Hatta tak berbuat salah, tapi ia merasa dirinya berada di tempat yang salah. Ia malu pada rakyat yang mempercayai integritas dirinya jika tetap bersekukuh pada jabatannya (sebagai wakil presiden mendampingi Presiden Soekarno). Bagi bung Hatta, lebih baik menjadi mantan pejabat tapi terhormat, daripada menjadi pejabat tapi tidak terhormat. Suatu sikap yang kini hilang dari umumnya elit politik.
Kehidupan politik kita kini lebih memberi perhatian dan mengutamakan jabatan daripada menaruh hati pada janji konstitusi. Selebihnya juga karena idiotnya sistem sosial kita. Umumnya kita terlatih tidak sensitif terhadap derita sesama. Kita menjadi dungu dan membiarkan banyak pejabat negara merampok tanpa malu-malu uang rakyat, sambil di tiap pemilu, berlagak seperti orang suci yang baru turun dari langit buat menyelamatkan peradaban manusia.
Mereka tidak malu untuk melanggar sumpah sebagai pejabat negara . Mereka tidak malu untuk tetap menduduki jabatan walaupun sudah diberi vonis bersalah . Mereka tidak malu untuk tetap berkuasa walaupun tidak menghasilkan perubahan dalam kepemimpinannya. Yang menjadi persoalan adalah sampai seberapa jauh budaya malu ini menjadi sebuah patokan dasar seorang pejabat di negeri ini dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Adakah mereka akan mengikuti tradisi di Thailand dan Korea Selatan ?
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin