infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Indonesia Buat Indonesia

Indonesia Buat Indonesia

oleh: Pribakti B *) 

Kini Republik telah berusia 77 tahun dan kita belum merasa bahagia. Kehidupan adil dan sejahtera di seberang jembatan emas kemerdekaan seperti dibayangkan para bapak bangsa belum mewujud. Kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya pendidikan masih membelit bangsa. Dengan demikian , rekonstruksi makna kebangsaan oleh kebanyakan rakyat bisa jadi sangat sederhana, yaitu menjadi orang Indonesia berarti punya pekerjaan, bisa menyekolahkan anak dan kalau sakit bisa berobat.

 

Makna kebangsaan seperti itu seharusnya mudah dicapai melalui pintu demokrasi Indonesia yang demokratis. Seharusnya juga Indonesia yang semua prosedur politiknya bisa dipakai untuk memperjuangkan gagasan dan cita-cita politik keadilan. Jika mau jujur, Indonesia saat ini adalah Indonesia yang menjauh dari ide besar, keberanian dan ketangguhan para pejuang kemerdekaan. Dalam bidang politik, sulit untuk secara gagah berani mengatakan Tanah Air ini berdaulat. Jangankan untuk masalah-masalah strategis, menyangkut kesepakatan multilateral atau hubungan bilateral, untuk masalah sepele seperti figur calon presiden ataupun mekanisme musyawarah mufakat, sikap elite politik kita sering kali seperti kehilangan keluhurannya.

 

Mereka mudah goyah apabila ada orang asing, terutama dari negara-negara maju, memprotes figur calon presiden Indonesia yang mungkin tidak ramah terhadap mereka dan diperkirakan akan merugikan kepentingannya apabila tokoh itu terpilih menjadi presiden. Isu apapun akan dilekatkan pada figur itu demi menumbuhkan prasangka dan menggelindingnya penolakan masif dari masyarakat. Seakan-akan pintu kebajikan politik bagi tokoh itu sudah berakhir. Dan kita pun lebih percaya dengan argumen bahwa one man one vote adalah opsi terbaik dalam sistem demokrasi dibandingkan dengan keluhuran musyawarah mufakat. Padahal , sebagai bangsa majemuk, Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang terbentuk dari kaum minoritas yang terbelah-belah di dalamnya . Disini , musyawarah mufakat merupakan kekayaan purba yang menjaga bangsa ini hidup rukun. Jika mekanisme itu dihancurkan, bisa dipastikan kedaulatan politik kita juga goyah.

 

Kedaulatan politik juga tidak mungkin terwujud jika kemandirian ekonomi absen dari perikehidupan bangsa dan negara. Bahkan untuk satu indikator saja, pangan misalnya, jika Republik ini tidak mandiri dalam hal pangan, kedaulatan politiknya bisa dipastikan keropos. Omong kosong kedaulatan politik dipertahankan apabila Indonesia tiap tahun sekarang masih mengimpor 200.000 sapi, 40 persen kebutuhan gula nasional, 50 persen kebutuhan garam, 70 persen kedelai dan 90 persen kebutuhan susu. Mustahil kedaulatan politik bisa ditegakkan apabila bangsa ini sebenarnya sudah masuk kategori terancam krisis pangan.

 

Keroposnya kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi dewasa ini adalah kesadaran palsu jika ada yang mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia sekarang adalah penuh kepribadian. Sebuah kebudayaan, apalagi peradaban, tidak akan pernah berkepribadian jika tidak  ditopang oleh kedaulatan politik dan kemandirian ekonominya. Itulah konsep cerdas Bung Karno. Tanpa berdaulat secara politik , mandiri secara ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan , sejatinya Indonesia belum utuh sebagai bangsa merdeka.

 

Seperti diketahui konstruksi masyarakat Indonesia paternalistik dan berpola melingkar seperti obat nyamuk bakar  dengan poros sebagai inti kekuasaan . Dengan konstruksi masyarakat seperti itu, untuk berdaulat secara politik hanya bisa didobrak oleh seorang pemimpin yang efektif . Figur inilah yang perlu dicari bersama di antara  kekumuhan partai politik yang lolos verifikasi pada Pilpres 2024. Sebab ketidakhadiran figur kepemimpinan nasional yang tangguh tidak hanya meredupkan kewibawaan dan efektivitas pemerintahannya tetapi juga pesimisme akut rakyat.

 

Apalagi dengan miskinnya panduan berbangsa dan bernegara yang berlaku kini , secara hipotesis akan memicu lahirnya generasi muda yang utopia politiknya difokuskan pada obsesi bernegara. Ini adalah obsesi kebangkitan nasional Indonesia baru ketika perikehidupan seluruh rakyat harus bahagia. Cukup sandang , pangan, papan, serta biaya pendidikan dan kesehatan terjangkau. Selain itu, juga tidak banjir, macet , fasilitas publik tersedia dan manusiawi. Maka hari-hari ini sungguh hormat saya kepada Bung Karno yang dengan takzim dan sepenuh hati mengatakan:” Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa bagi bangsa, selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan selesai.” Hormat saya juga kepada Bung Hatta yang dengan hati nurani dan keteguhannya mengingatkan, “Lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.”

 

Oleh sebab itu, para pemimpin masa kini jangan mengkhianati Bung Karno dan Bung Hatta . Jangan merasa sudah berbuat banyak bagi Republik. Jangan pula menjadikan Republik ini sebagai embel-embel pihak asing. Bagi partai politik, saatnya mengusung tokoh-tokoh yang baik dan pemanggul ideologi kesejahteraan sosial. Tanpa langkah itu, kejumudan Republik akan melembaga. Bagi pimpinan partai politik, tentu tidak salah ikut kontestasi dalam Pilpres 2024. Namun, jika popularitas dan sumber daya politiknya tidak mencukupi , mengajukan tokoh lain yang mempunyai elektabilitas, kapabilitas dan integritas yang bagus merupakan langkah mulia. Pendeknya, seperti pesan Bung Karno, Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua. Kini saatnya bagi kita untuk makan buah kita sendiri, padi kita sendiri, garam kita sendiri. Impor silakan, tetapi kita mengutamakan produk kita sendiri. Merdeka!

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

 

 

Bagikan:

Iklan