infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Moral dan Dunia Politik Kita  

Moral dan Dunia Politik Kita  

oleh: Pribakti B *) 

 Di Indonesia sekarang ini, orang yang tingkah laku politiknya diwarnai idealisme ditolak di mana pun. Lebih-lebih di dalam birokrasi . Jika ada tokoh yang bekerja berdasarkan kejujuran dan menolak diajak menyimpang, ia dicap tidak tahu “politik riil”. Ia akan disebut – dengan sinis – idealis. Jangan lupa, “idealis” ini konotasinya negatif, buruk, tidak tahu adat. Jelaslah bagi kita, “politik riil” berarti menyimpang dari sesuatu yang luhur dan mulia.

Di lingkungan masyarakat politik, kaum birokrasi, dan para penegak hukum kita  – yang pelan-pelan menjadi idiot dan dungu – semua penyimpangan itu kini diterima sebagai kewajaran. Tidak usah heran jika arena politik di negeri ini selalu gonjang ganjing penuh dengan transaksional , akrobatik dan kotor. Ketika kekuasaan dilaksanakan demi kekuasaan itu sendiri – dan diisi sesuka hati para penguasa – maka kekuasaan akan dengan sendirinya melahirkan politik kotor, jahat dan penuh kekejaman.

Lebih dari itu, ketika kekuasaan yang diisi dengan tingkah laku politik seperti itu akan melahirkan penguasa otoriter. Mereka adalah para tiran yang kejam lahir dari gagasan dan struktur kehidupan politik yang kerjanya melegalkan pemerkosaan terhadap moral masyarakat. Teori politik menyebutkan jika tekanan penguasa sangat besar, kontrol sosial dengan sendirinya menipis. Dalam tatanan politik riil, membuat warga masyarakat dipastikan akan kehilangan pegangan moral.

Bagi kebanyakan orang, moral kalah penting dengan keselamatan jiwa. Sikap oportunis pun lahir: moral boleh mampus, asal diri sendiri selamat. Kehidupan boleh kacau balau, yang penting diri sendiri selamat. Mereka akan mengiyakan demi keselamatan – apapun tindakan penguasa. Bahkan , kita tak lagi menyadari bahwa kita hidup tanpa moralitas lagi. Tengoklah di mana-mana pada akhirnya tampak jelas , para koruptor saling berebut keselamatan. Pengadilan dengan segenap “lawyer” yang gagah, necis, populer dan kaya, tak lebih dari tempat mencari keselamatan dan bukan lagi tempat membuktikan kebenaran hukum secara jujur.

Yang menjadi persoalan sekarang, di satu sisi makin lama orang mengganggap seolah apa yang disebut “politik riil” – artinya kotor, jahat dan kejam – itu menjadi sebuah kemuliaan tersendiri. Di sisi lain banyak orang-orang baik di negeri ini, yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, yang mencintai negerinya seperti mencintai ibunya sendiri merasa frustasi ditengah penyimpangan demi penyimpangan yang dirayakan sebagai kemuliaan.

Lucunya di negeri kita ini, di mana-mana orang bicara soal demokrasi, tetapi tak seorang pun peduli terhadap moral kita yang sudah mati. Celakanya , media massa turut merayakan kekacauan itu. Hal ini didukung dengan kecenderungan media massa mengiklankan tokoh –tokoh yang secara moral sangat tidak layak menjadi pemimpin. Terasa mengenaskan. Hanya demi duit – bayaran iklan – media massa dengan senang hati meracuni warga masyarakat yang sedang bingung mencari sosok yang layak dipilih menjadi pemimpin.

Padahal tak semua orang mengerti latar belakang para tokoh itu, karena masyarakat kita banyak jumlahnya. Jika termakan iklan, maka hancurlah kehidupan bangsa . Rakyat dijerumuskan untuk memilih sosok yang tak layak dipilih. Perusahaan-perusahaan “demokrasi” yang seolah bersikap demokratis itu menjagokan para tokoh dengan bayaran tinggi, tak peduli juga jagonya becus kerja atau tidak, demokrat atau tirani. Bagi mereka, yang penting duit, duit dan duit. Artinya media massa dan perusahaan-perusahaan yang mengaku-ngaku “demokrasi”  itu memiliki saham yang besar dalam langkah-langkah mereka “membimbing” warga masyarakat ke jalan kegelapan.

Ini karena tokoh-tokoh yang disebut mereka sebagai “pilihan rakyat” ternyata tokoh buruk, tiran, suka memecah belah bangsa serta mengancam kenyamanan hidup berbangsa secara sehat. Hal yang wajar saja karena otak sudah idiot atau dungu –  mengiyakan apa saja –  menerima apa saja yang datang dari penguasa – menular di lingkungan masyarakat berkat media massa yang tidak bijaksana dalam pemberitaan .

Keadaan begini bagi orang-orang yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, sudah pasti akan frustasi . Ya betul, demokrasi kelihatannya hidup. Kelihatannya. Hal itu terjadi karena apa saja seolah dilakukan secara demokratis. Namun, bagaimana dibilang demokrasi, bila moral yang terbunuh tanpa seorang pun yang bisa disebut “ terdakwa” dalam pembunuhan itu.

Dengan gambaran seperti itu, ibaratnya kita berada di lingkaran setan. Lalu dari mana kita mengurai keruwetan itu? Berapa lama kita bisa mengubah rakyat bisa berdisiplin, menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berjatidiri, sehingga kita bangga dengan jatidiri bangsa ini dan tidak malu lagi menjadi orang Indonesia, sebagaimana dikatakan Taufik Ismail? Moral dan dunia politik kita sekarang ini banyak menimbulkan pertanyaan, apa salahnya bangsa ini? Ketika kita sudah terjebak pada sikap (budaya?) benar sendiri, sudah tentu tidak mudah menjawab pertanyaan seperti itu. Ruwetnya persoalan bangsa ini, ibaratnya seperti benang yang ruwet. Menurut Anda, bagaimana ? (*)

 

 

Bagikan:

Iklan