infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Hilangnya Kedaulatan Rakyat

Hilangnya Kedaulatan Rakyat

Pribakti B

oleh: Pribakti B *)

Dulu diawal-awal musim semi demokrasi langsung, panggung politik adalah bisnis menggiurkan. Istilah pencitraan sampai ngehit. Lembaga survei tumbuh seperti jamur di musim hujan. Hal ini karena popularitas dan elektabilitas amat menentukan kemenangan dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden. Pada titik itu, pencitraan masih positif karena menjual sisi baik sang calon.

Namun, kini musim semi demokrasi telah berlalu. Tidak cukup menjual sisi baik yang dimiliki untuk meraih kemenangan, tetapi juga menguliti lawan-lawan. Maka , ujaran kebencian pun menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Diakui atau tidak, panggung politik di negeri ini rasanya terlalu ironis. Sering kali sulit dibaca dengan kewajaran-kewajaran. Sampai-sampai ada anekdot bahwa teori politik mana pun sulit diterapkan di Indonesia. Perilaku dan budaya politiknya sering kali membuat “kepala pusing tujuh keliling”. Pasalnya politik tidak menjadi proses pembuat kebijakan demi kemashlatan publik, melainkan justru menjadi panggung berakting politisi dalam berburu kuasa.

Partai politik kita memang penuh ironi. Partai politik tempat sejuk yang menyuburkan watak-watak feodalisme. Padahal partai politik adalah institusi politik modern. Inilah anehnya, panggung politik modern justru dibagi-bagi di antara keluarga dan sanak saudara. Kekuasaan politik jadi semacam warisan yang dibagikan untuk istri, anak atau saudara. Praktik dinasti politik, meskipun sudah cukup lama digugat, tetap saja tumbuh subur. Partai politik menjadi penyubur dinasti politik.

Saat ini , dinamika politik juga terlalu memperlihatkan pragmatisme dan tranksasional. Agaknya politik terlalu penuh dengan perilaku licik ketimbang sebagai suatu kebajikan-meski sudah 25 tahun reformasi-demokrasi rasanya masih jauh dari harapan bersih dan sehat. Perkembangan paling progresif dalam demokrasi saat ini adalah partisipasi langsung. Selebihnya demokrasi digandoli perilaku curang dan politik uang.

Dalam komunikasi verbal, cara-cara beradab selalu didengung-dengungkan , tetapi praktiknya justru cara-cara tak beradab yang dijalani. Politik uang disepakati sebagai perusak demokrasi, tetapi justru di belakang panggung “bermain mata” menyebarkan uang. Penolakan politik uang tampaknya cuma dijadikan opini publik dan propaganda politisi saja. Ketidakseriusan para politisi terlihat dengan tidak digusurnya semua praktik politik uang didalam UU Pilkada .

Praktik politik uang  sudah menjadi rahasia terbuka. Hampir setiap ada perhelatan pemilu , politik uang bergerak dalam serangan fajar. Dalam banyak kasus, politik uang rupanya menjadi jimat sakti. Kalau diurutkan, uang dipercaya sebagai senjata paling ampuh. Bahkan , ada juga kandididat yang tergiur mengandalkan politik uang meskipun popularitas dan elektabilitasnya tinggi. Memang tidak sedikit kandididat yang belum pede (percaya diri) jika tanpa uang . Karena masih dipercaya bahwa tingginya tingkat popularitas dan elektabilitas akan lebih memiliki daya lontar sangat kuat jika dibarengi dengan uang.

Oleh karena itu, uang tidak pernah jauh-jauh beranjak dari politik. Barangkali hanya segelintir saja politisi yang murni tak menggunakan uang saat bertarung di Pilkada. Masalahnya banyak politisi yang sebetulnya belum pantas menjadi pemimpin. Banyak di antara mereka yang memaksakan diri. Padahal, untuk menjadi pemimpin haruslah memiliki kombinasi modal poltik , modal sosial, dan modal ekonomi (kapital). Terkadang baru memiliki modal politik, dalam arti aktif  di partai poltitik saja, sudah nekat mencalonkan diri. Akibatnya , semua cara ditempuh. Mulailah memoles wajah, memermak personalitas, melakukan pencitraan diri. Jalan pintas harus diambil. Padahal kapasitas, kredibilitas, loyalitas belum benar-benar di titik mumpuni.

Akhirnya karena dipaksakan , tetap saja polesan terlihat bopeng-bopeng. Dibalik wajah-wajah polesan itu, kepalsuan tak bisa lagi ditutupi . Inilah akibat ketika banyak politisi tidak tahu diri dan merasa mampu. Setelah menjabat pun, tahu diri seharusnya menjadi perilaku utama politis/pejabat. Padahal reformasi mengamanatkan pejabat dan segenap warga negara bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebab, mandat utama bagai politisi ataupun pejabat negara adalah mengabdi pada rakyat. Bukan mengabdi kepada kepentingan pribadi atau pihak tertentu. Pengabdian adalah jalan mulia, tetapi sunyi. Bukan jalan berburu kuasa dan pamrih.

Seperti dikatakan oleh James Siegel , seorang antropolog yang mengamati politik Indonesia. Ia mengatakan bahwa setelah Soekarno meninggal , tidak ada lagi yang menjadi penyambung lidah rakyat. Hasil penelitiannya amat mengejutkan publik bahwa realitas kedaulatan rakyat sebenarnya telah lama hilang, tergantikan oleh kedaulatan uang. Mengapa ini bisa terjadi? Karena elite politik hanya memberi keyakinan bukan pengetahuan.

Disini politik hanya dipahami sebagai sarana utuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan atau menjadi ajang pertarungan, kekuatan dan kepentingan uang semata-mata . Rakyat sering kali digunakan sebagai alat untuk menjastifikasi kekuasaan semata-mata. Pertimbangan kebijakan tidak terarah pada pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, justru yang terjadi menyengsarakan rakyat dan makin merosotnya kepercayaan publik. Hasilnya publik menjadi apatis dan masa bodoh, dalam segala proses pemilu .

Realitas hilangnya kedaulatan rakyat ini seharusnya menjadi cermin bagi elite politik untuk menunjukkan bahwa mereka seharusnya tidak lagi menjual keyakinan semata-mata. Keyakinan yang selama ini dijual sudah tidak lagi menarik bagi publik, yang dibutuhkan publik adalah perubahan, bukan sekedar janji manis. Perubahan akan terjadi bila publik diberi pengetahuan yang memadai mengenai akar masalah yang terjadi. Persoalannya beranikah partai-partai politik menjual pengetahuan daripada keyakinan ?

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

 

 

Bagikan:

Iklan