Hidup di Zaman Budeg
oleh: Pribakti B *)
Budeg itu tuli. Tapi budeg tidak persis sama dengan tuli. Sebab orang budeg belum tentu tuli. Dia bisa mendengar. Telinganya juga komplet, tetapi budeg. Coba amati telinga orang di samping Anda. Komplit kan? Ada dua , disamping kiri dan kanan bagian muka kepalanya, persis seperti kaca spion mobil. Bedanya , kaca spion mobil menghadap ke belakang , untuk mengamati apa saja yang ada di belakang kita. Struktural, fungsional. Telinga kita? Normalnya menghadap ke depan. Kita tidak tahu mengapa begitu. Kita juga sering tidak tahu, untuk apa. Untuk mendengar?
Berbicara tentang tuli memang hanya menyangkut urusan telinga. Ia kendala, bukan aib. Kalau saraf pendengaran terganggu atau rusak orang bisa tuli. Tapi kalau budeg, harap maklum, itu bisa jadi aib. Budeg bukan hanya urusan dua telinga yag menempel di kepala. Budeg bisa nyangkut ke seluruh kepala. Maksudnya isi kepala, bukan yang di luar. Maaf kata, otak. Bahkan juga isi dada. Maksudnya hati. Orang bilang, hati nurrani. Kalau sudah begitu urusan bisa jadi repot. Budeg total itu artinya , kepala budeg, hati juga budeg. Orang tidak mau mendengar, tidak mau melihat, tidak punya pertimbangan dan tidak punya hati nurani.
Yang beginian bisa bikin repot. Nyusahin orang lain. Lalu kalau yang budeg itu para pemimpin dan wakil rakyat? Waduh. Coba pikir, lebih dari 70 persen rakyat Indonesia adalah rakyat kecil. Itu artinya orang-orang miskin, tak berpunya. Mereka adalah kaum buruh, nelayan, petani, pegawai rendahan dan masih 1001 macam kelompok masyarakat ”akar rumput” sebangsanya yang senasib sepenanggungan.
Namanya juga akar rumput, mereka selalu jadi tumpuan permainan injek-injekan kaki orang-orang yang diatasnya yang tak tahu diri. Bila pemilu sudah dekat, orang-orang di atas angin, babe-babe dan tante-tante itu suka kumpul – kumpul orang kecil. Bagi-bagi duit, bicara manis atas nama rakyat sampai berbusa-busa. Janji sana janji sini. Padahal dulu di zaman kekuasaan perintah paksa Orde-ordean, nyebut kata rakyat saja tak berani itu para bunglon politik.
Lha sekarang nama rakyat dibawa-bawa buat ngebut jualan politik kekuasaan. Ada yang namanya Barisan Berani Malu, Front Pembela Kebenaran Palsu, Forum Pemuda Demokrasi Kekerasan dan yang terbaru Barisan Etnik Dukung-dukungan. Jadi tak usah heran kumpulan –kumpulan jangka pendek seperti itu bukan barang baru. Nanti juga bubar sendiri kalau sudah sekali-dua kali pakai untuk target-target tertentu.
Yang menjadi persoalan, banyak rakyat kecil itu juga mengikuti terus permainan politik yang diremot dari atas seperti mereka tak pernah belajar dari pengalaman. Padahal , selamanya mereka tak mendapat apa-apa . Apa mau dibilang? Kesengsaraan jalan terus. Orde-orde berubah tapi keadaan tidak. Diatas main kuasa, di tengah main tipu daya, di bawah main-main saja. Dulu janjinya kalau menang dan didukung mau berantas korupsi, menegakkan hukum, bikin pemerintahan bersih semengkilat lantai porselin – hidup rakyat terlindungi payung keadilan , ketenteraman dan ketertiban. Sekarang?
Kerja juga belum selesai dan belum bener, keluhan sudah sekeranjang sampah. Yang dibawah disalahin. Wakil rakyatnya malah bagi-bagi proyek, bagi-bagi jabatan, bagi-bagi jas, duit dan mobil. Padahal tuntutan rakyat akan keadilan, kesejahteraan dan pengayoman hidup terus dikumandangkan para demonstran. Bahkan yang tidak sabar mau bikin revolusi. Istilah kerennya People Power. Apa tidak serem?
Tetapi yang diatas jalan terus dengan kelakuan politik dan bisnisnya. Korupsi malah menjalar kemana-mana. Rasa takut ada di mana-mana, seolah-olah tiada hari tanpa kerawanan. Dulu rasa takut hanya kepada sesuatu, orang-orang, tempat dan situasi tertentu. Maaf kata, ibarat anak kecil takut anjing, dulu anjing-anjing itu hanya ada di perempatan-perempatan jalan dan situasi-situasi tertentu. Bila takut digigit yang jangan ganggu itu anjing. Hindari tempat-tempat dan situasi tertentu yang ada guguknya.
Sekarang? Hidup di zaman wakil rakyat budeg, dimana-mana ada rasa takut dan tidak nyaman. Kapan saja, bukan hanya takut kepada rampok, maling, koruptor, pembunuh, penipu, penjarah, copet – juga takut kepada politik. Takut kepada amok massa, kebakaran, banjir, kekeringan, kelaparan, bencana dan nasib. Takut kepada preman, polisi, jaksa, hakim ,pengacara dan yang agung-agung itu. Ringkas kata, takut kepada apa saja, kecuali kepada hukum. Paranoid? Siapa peduli. Budeg!
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin