Menghitung Kebutuhan Dokter
Oleh: Pribakti B
Koran Jawa Pos dalam headlinenya Rabu tanggal 2 Agustus 2023 menulis 12 Kampus Buka Fakultas Kedokteran (FK) Baru. Yang menarik , ijin pendirian FK “terkesan” dipermudah di perguruan-perguruan tinggi negeri yang identik dengan pendidikan agama, keguruan dan teknologi dengan alasan Indonesia masih kekurangan dokter. Pertanyaannya: kalau kedepan dipastikan suplai dokter meningkat, apakah juga menjamin kualitas dokter ikut meningkat?
Saat ini, menurut data Konsil Kedokteran Indonesia terbaru menunjukkan, jumlah dokter umum yang ada sebanyak 165.678 dan dokter spesialis 49.909. (Kompas, 28 Maret 2023). Artinya , saat ini kita punya 215.587 dokter dan dokter spesialis, yang berarti untuk 275 juta penduduk masih diperlukan sekitar 60.000 dokter lagi untuk mencapai rasio dokter terhadap penduduk 1:1000 sesuai standar WHO. Sementara setiap tahun akan diproduksi 12 ribu dokter baru dari FK perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara pertama yang memiliki pendidikan kedokteran dengan sebutan Sekolah Dokter Jawa pada tahun 1849. Seharusnya, pengalaman panjang ini menjadikan Indonesia sebagai panutan . Dengan jumlah penduduk 275 juta, maka jika menggunakan rasio universal, Indonesia cukup memiliki 70 FK saja (satu FK untuk 4 juta penduduk). Tapi pada kenyataannya , saat ini saja sudah terdapat 92 FK (sebagian besar di pulau Jawa) baik perguruan tinggi negeri dan swasta .
Maka bukan tidak mungkin dengan semakin banyak dibuka FK baru dapat berpengaruh pada etik dan profesionalisme kedokteran di Indonesis . Belum lagi sejumlah mahasiswa ini dalam pendidikan juga akan mengalami kekurangan dalam berlatih untuk jumlah dan variasi kasus secara cukup sesuai syarat kompetensi. Mungkin jumlah pasien rumah sakit Pendidikan di daerah mencukupi, tapi ketersediaan dosen pendidik klinis belum memenuhi rasio untuk memberikan pembimbingan dengan kualitas yang merata. Akibatnya bukan tidak mungkin mahasiswa akan menjadi dokter dengan bekal seadanya . Yang ujung-ujungnya adalah ancaman bagi keselamatan pasien. Padahal keselamatan pasien adalah segalanya.
Jadi sangat wajar pembukaan FK baru oleh perguruan-perguruan tinggi negeri yang sekian lama identik dengan pendidikan agama, keguruan dan teknologi menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Seperti diketahui pendidikan kedokteran dan keselamatan pasien adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Ia merupakan satu kesatuan. Itu sebabnya, membuka FK tidak mudah, harus melibatkan profesi kedokteran sejak awal dan tidak merupakan keputusan administratif belaka. Disana ada keselamatan pasien yang tidak boleh dianggap sebagai “urusan belakangan”. Selain itu pendidikan kedokteran juga mengikuti kaidah universal karena setiap lulusannya harus diterima dan diakui sebagai dokter yang kompeten dalam menangani orang sakit di penjuru dunia di mana pun ia sedang berada.
Dan yang pasti kualitas dan kompetensi seorang dokter akan langsung dinilai terkait FK tempat ia dididik. Nilai-nilai universal berlaku di situ, seperti memiliki satu dosen tetap untuk setiap 10 mahasiswa di tingkat pendidikan akademik (untuk mencapai gelar sarjana kedokteran), serta rasio satu dosen pendidik klinis untuk lima mahasiswa pada pendidikan klinik (di rumah sakit) untuk mendapatkan sebutan dokter.Ini karena pendidikan tahap klinik, setiap mahasiswa harus mendapatkan jumlah serta variasi kasus yang cukup untuk mencapai kompetensi sebagaimana yang diamanatkan oleh standar kompetensi yang ditetapkan negara dan profesi melalui Konsil Kedokteran.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah proses penerimaan mahasiswa kedokteran , selain dengan seleksi akademik yang ketat, juga disertai uji motivasi sehingga mahasiswa yang diterima memang betul-betul memiliki karakter seorang (calon) dokter. Nilai-nilai kejujuran, kesabaran, empati, dan altruism/sifat mementingkan kepentingan orang lain , ini semua dikenal sebagai soft skill yang harus lebih kuat ketimbang nilai intelektual semata. Soft skill akan berpengaruh saat praktek sebagai dokter, seseorang harus bersikap, membuat keputusan yang berisiko, tetapi dengan tetap mengedepankan dan menghormati perasaan, jiwa, serta otonomi pasien. Karena keselamatan pasien akan ditentukan dari kemampuan soft skill seorang dokter, disamping tentu pengetahuan serta keterampilannya yang memang juga harus tinggi.
Jadi jelaslah, penambahan FK baru saat ini untuk meningkatkan jumlah lulusan dokter kurang tepat. Memperbanyak lulusan dokter tanpa pengendalian mutu FK akan menjadi bumerang di kemudian hari. Sebab tak semua FK yang ada mampu menghasilkan lulusan dengan mutu yang baik. Banyak kekurangan FK yang ada, terutama yang swasta dan baru sehingga mutu lulusannya diragukan. Kemenkes juga perlu memikirkan faktor lain yang juga berpengaruh terhadap penghitungan jumlah dokter adalah masalah otonomi daerah dan kepala daerah mengenai tugas dokter. Kepala daerah yang melihat sarana layanan kesehatan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentu punya kebutuhan dokter yang berbeda dengan kepala daerah yang lebih mengutamakan penyehatan rakyat. Maka, untuk Indonesia ternyata menghitung kebutuhan dokter tidaklah sederhana. Menurut Anda, bagaimana?
|