infobanua.co.id
Beranda Opini Bom Waktu Hedonesia

Bom Waktu Hedonesia

Refleksi Hari Kemerdekaan RI ke 78

 

Oleh: Pribakti B

 

 Dalam sejarahnya hedonisme memang sudah lama dianut  di negeri ini. Hedonisme adalah ajaran fisafat etika Yunani tempo dulu di zaman kuno –kurang lebih 450 tahun sebelum Masehi. Tempo kini ajaran itu diadopsi dan diaktualisasikan oleh orang-orang kita menjadi “Hedonesia” . Ekses serius kampanye kebendaan yang hedonistis dan diluar proporsi kewajaran dari suatu negeri miskin yang suka berlagak kaya, membuat banyak orang menempuh jalan pintas untuk meraih kenikmatan hidup secepat dan sebanyak-banyaknya, dengan cara apa pun. Termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme tentunya.

 

Diakui atau tidak Indonesia masih termasuk salah satu bangsa yang berusaha bangkit meninggalkan statusnya sebagai bangsa miskin walau sudah 78 tahun merdeka . Sebagaimana lazimnya bangsa miskin diukur berdasarkan besar pendapatan warganya per kapita per tahun (GNP). Masalahnya GNP kita termasuk agak rendah. Banyak orang luar negeri yang terkaget-kaget kok bisa warga kita bisa hidup miskin dengan penghasilan 500 ribu perbulan. Bahkan hampir seluruh pendapatan warga kita perbulan rata-rata habis untuk keperluan hidup sehari-hari. Dilaporkan  Maret 2023 sebanyak 25,9 juta penduduk bangsa kita masih hidup serba kekurangan dan harus mencari biaya tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. (Publikasi Statistik Indonesia, 2023). Coba bandingkan bangsa kita dengan bangsa lain. Mereka hanya memerlukan 15 persen pendapatannya per bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Data tahun 2010 menunjukkan orang miskin di pedesaan dua kali lipat ketimbang di perkotaan .  Entah bagaimana besaran angkanya di tahun 2023 . Kasat mata sepertinya tambah banyak walau dilaporkan menurun . Kemiskinan makin merajalela di negeri ini, seperti rumput ilalang. Dibabat pagi sore tumbuh lagi, dibabat sore pagi tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa negeri ini mencoba melawannya , tetapi kemiskinan tetap di tempat semula. Bahkan, bila sikap skeptis didalam masyarakat benar bahwa si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, maka jelaslah bagi kita, kemiskinan justru sangat agresif , lebih dari strategi dan program-program yang disusun pemerintah.

 

Sesudah menaklukkan desa, kemiskinanpun bergerak menyerbu kota , dan kini menduduki banyak bagian kota sehingga dimana-mana lahir kampung kumuh. Tiap jengkal tanah kosong, dihuni kaum gelandangan. Ketika kita tengah berusaha bangkit dari kemiskinan ini,  sebagian dari kita telah berhasil mempunyai pendapatan bergaya layaknya bangsa maju. Mereka yang beruntung ini telah dapat menyisakan 85 persen pendapatannya bagi keperluan ekstra . Meskipun jumlah mereka ini tak banyak di Indonesia, tapi mereka telah menunjukkan gejala gaya hidup baru yang cukup mencolok.

 

Mereka ini adalah orang-orang yang selalu berpakaian perlente bila ke kantor, bermobil dengan model mutakhir, rumah di kawasan real estate, sering pesiar /berpergian keluar negeri bahkan menyekolahkan anaknya ke luar negeri, garasinya berisi 2 atau 3 mobil. Mereka  amat hati-hati menjaga kesehatan. Mereka tidak merokok. Mereka rajin gosok gigi sehabis makan. Mereka suka ngegym. Mereka memasuki klub  kebugaran . Setiap perayaan kecil seperti ulang tahun, selalu dipestakan dengan menyewa ruang restoran. Rumahnyapun diisi dengan perabotan gaya mutakhir. Mereka juga punya perhatian dalam seni. Tidak jarang mereka menggantung berbagai lukisan yang cukup mahal harganya. Kadang lukisan itu mereka beli sewaktu pesiar keluar negeri atau galeri yang top. Mereka juga pecinta keramik berupa guci-guci gede dan patung-patung.

 

Mereka punya rak buku dengan isi satu atau dua set ensiklopedia standar luar negeri dan tak lupa buku-buku tebal di bidang profesinya. Sekilas tampak bahwa mereka benar-benar menikmati kehidupan modern ini. Mereka bersih, penuh etika dan tak mau menjahati orang lain, tetapi kurang begitu peduli pada persoalan orang lain. Mereka hanya peduli pada keluarga sendiri. Seolah mereka ini bersemboyan “Nikmatilah hidup ini!” Mereka adalah orang biasa yang kebetulan atau karena nasib atau karena keadaan telah berhasil mencapai penghasilan tinggi perbulan, dengan keahlian yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

 

Gambaran semacam ini, kalau saja telah meliputi 80 persen dari penduduk Indonesia saja, barangkali bolehlah kita berbangga bahwa Indonesia telah menjadi negara dan bangsa yang kaya seperti Amerika dan Eropa. Tidak ada lagi dompet bencana alam dari masyarakat, karena pemerintah telah amat cukup menyediakan dana untuk itu. Tak perlu mengkhawatirkan orang-orang jompo karena dana pemerintah cukup. Bahkan para penganggur pun akan mendapat tunjangan secukupnya.

 

Tetapi sayangnya , karena jumlah orang yang “beruntung” ini masih sedikit, maka gaya hidup orang kaya baru ini terasa cukup mencolok dan kadang malah menimbulkan kecemburuan. Mereka memang orang biasa yang tak mengganggu siapapun. Mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan tak mau mengganggu urusan orang lain. “Urusanku adalah urusanku, dan urusanmu adalah urusanmu”. Tetapi gaya hidup orang kaya demikian ditengah masyarakat yang masih harus memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, yang pusing setiap kali anaknya minta bayaran SPP, yang kalang kabut kalau anaknya sakit, yang otaknya selalu berputar memikirkan cara melunasi berbagai pinjamannya, tentu dapat juga menimbulkan masalah pada suatu kali.

 

Ini karena kaum penikmat hidup ini akan menanamkan bom waktu apabila gaya hidup yang mencolok ini terus dipamerkan di hadapan tetangga dan kawan-kawannya yang masih berpenghasilan dibawah UMR  per bulan. Padahal pendidikan mereka sama, pengalaman sama , hanya profesi dan mungkin kesempatan saja yang berbeda. Satu kali pesta ulang tahun dengan biaya 5 atau 6 bulan gaji bersih seorang pegawai negeri golongan IV tentu cukup membuat gerah orang pada masa kini.

 

Sebagai bangsa, kita ini masih miskin, tetapi secara individu telah berkembang suatu kelompok sosial baru yang terdiri dari mereka yang berpenghasilan absurd untuk kebanyakan bangsa ini. Apalagi kalau mereka yang kaya raya ini kurang peduli pada lingkungannya yang miskin. Meskipun tidak diharapkan mau menolong dengan kekayaannya, hendaknya mereka cukup arif untuk sekadar toleran terhadap mereka yang kurang beruntung atau belum beruntung. Hendaknya gaya hidup hedonis dapat sedikit dikurangi atau setidak-tidaknya disembunyikan di dalam pagar sendiri.

 

Pendeknya, dengan semakin banyak kelompok “hedonesia” macam begini , bisa jadi makin terbakarnya rasa cemburu terhadap keberuntungan dan makin tertanamnya semacam ketidaksenangan terhadap kesempatan , sehingga terjadi jurang pemisah antar mereka yang kaya dan yang kurang kaya serta yang miskin. Bom waktu hedonesia ini telah banyak dibuktikan berkali-kali dalam sejarah, bahwa pada kesempatan tertentu ia akan meledak menjadi revolusi sosial yang kadang menakutkan. Dalam situasi semacam itu, terbayang akan korban tak pilih-pilih kaya, miskin atau setengah kaya. Tentu kita berharap hal itu tak akan pernah terjadi di negeri tercinta ini. Merdeka!

 

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan