infobanua.co.id
Beranda Opini Ilmu dan Perilaku

Ilmu dan Perilaku

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

 Ilmu itu diwujudkan dalam perilaku. Inilah kebijaksanaan nenek moyang kita dahulu. Untuk apa hanya tahu, kalau tidak dilaksanakan? Orang boleh sampai botak belajar ilmu, tetapi kalau hanya di kepala saja , dan tidak diejawantahkan dalam tindakan sehari-hari, sama saja dengan tidak berilmu. Tentu saja terutama dalam ilmu atau pengetahuan yang bersifat etika, moral dan agama.

 

Manusia dinilai dari apa yang diperbuatnya, bukan dari apa yang diketahuinya. Orang baik disebut demikian karena ia berbuat baik, dan bukan karena punya pengetahuan tentang cara berbuat baik. Inilah sebabnya orang yang berilmu tinggi justru dituntut berperilaku jauh lebih hati-hati. Orang bodoh itu cukup sederhana perbuatan hidupnya, karena hanya itu-itu sajalah yang diketahuinya. Dia tahu bahwa berbohong itu tidak baik. Mencuri itu tidak baik. Menyakiti orang lain itu tidak baik. Memberi itu perbuatan baik. Menolong itu baik. Memusuhi itu tak baik, atau semacam itu.

 

Tetapi orang pintar tentu lebih tahu rincian apa yang baik dan tak baik. Kadang batas nilai diantara keduanya begitu tipis. Sepintas lalu, sesuatu dapat dikatakan baik, tapi ketika dianalisis ternyata termasuk perbuatan tak baik. Inilah celakanya jadiorang beilmu. Lantas manakah yang lebih baik: tahu banyak tentang perbuatan baik, atau berkelakuan baik meskipun bodoh? Dari segi moral memang orang bodoh yang baik lebih berharga daripada orang orang pintar yang tak baik. Tetapi, orang pintar yang baik dapat menjelma menjadi orang bijaksana. Orang begini adalah orang yang berilmu dan berperilaku. Orang bodoh yang tak baik adalah orang yang berbahaya.

 

Tanggung jawab menjadi orang terpelajar itu cukup besar. Dalam moralitas lama, perbuatan tidak baik itu tergantung pada kedudukan orang itu dalam masyarakat. Makin tinggi kedudukan seseorang dalam masyarakat, main tinggi pulalah syarat untuk perbuatan baik. Seorang pembesar yang gampang menuduh akan mendatangkan dampak yang luar biasa besarnya dalam masyarakat. Tetapi, tuduhan atau hasutan seorang bawahan kurang membawa risiko besar dalam masyarakat. Korupsi pegawai tinggi akan mendatangkan akibat kesengsaraan bagi banyak orang, sedangkan korupsi tukang sapu jalan mungkin hanya mengurangi waktu kerja.

 

Bagaimanapun perbuatan tidak baik, dalam arti moral umum, tetap merugikan pelakunya. Ilmu dan perilaku di dunia Timur, saya kira agak khas . Di dunia timur tidak muncul ahli filsafat. Guru fisafat  di dunia Timur adalah para guru yang menerjemahkan ilmunya atau fisafatnya dalam hidup sehari-hari. Antara pemikiran dan perbuatan telah menjadi satu. Ajarannya, ilmunya, adalah perbuatannya. Maka untuk mempelajari ajaran atau ilmu seorang guru di Indonesia, tidak cukup hanya dengan mengetahui apa yang dikatakannya , tetapi harus dilengkapi dengan riwayat hidupnya, tingkah lakunya selama dia hidup. Teladan itu menjadi amat penting di Indonesia. Seorang guru di dunia Timur, mungkin tak banyak mengucapkan kata-kata, tetapi banyak hal dapat dipelajari dari amal perbuatannya.

 

Seorang ahli ilmu, ahli filsafat, pemimpin, ketua di Indonesia adalah teladan. Hidupnya itulah ajarannya. Perbuatan itulah ilmunya. Ia tak perlu banyak berkata-kata, tetapi jelas harus berbuat, harus ber”perilaku”. Lebih baik tidak banyak tahu, tetapi berbuat seakan-akan banyak tahu. Tahu banyak tidak menempati nilai tinggi dalam masyarakat lama kita. Berbuat banyak lebih utama. Barangkali inilah sebabnya Sri Sultan Hamengkubuwoano IX dahulu jarang sekali berbicara. Beliau menekankan banyak berbuat. Cerita tentang bagaimana beliau mengambil tumpangan pedagang kecil ke pasar, dan menolak bayaran, adalah mitos yang amat terkenal. Seorang raja yang mengajak pedagang kecil naik mobilnya ke pasar adalah ibarat dongeng Seribu Satu Malam. Tetapi  itulah kenyataan dalam kehidupan Raja Jawa.

 

“Ilmu iku kelakune kanti laku”, begitu bunyi sebuah syair dalam bahasa Jawa. Dan aksioma itu mendasari sikap hidup moral bangsa kita zaman dahulu. Inilah nilai yang saya kira tak perlu dihilangkan. Justru ditumbuhkan di tengah krisis moral kita sekarang. Menjadi orang berilmu, pejabat, pemimpin, ketua , yang dituakan, cukup berat di Indonesia. Makin tinggi ilmunya , makin banyak persyaratan hidup yang harus dipikulnya. Mana yang lebih penting , berbuat atau berpengetahuan? Berpengetahuan tentang hal-hal baik atau berbuat baik? Lebih baik tahu sedikit tetapi berbuat banyak, atau tahu banyak tapi jarang menjalankannya ? Tentu saja yang lebih baik apabila orang tahu banyak dan berbuat banyak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Namun , pada kenyataannya banyak orang yang hanya berhenti berpengetahuan saja. Menurut Anda, bagaimana?

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan