infobanua.co.id
Beranda Opini Kita Ini Boneka Macam Apa

Kita Ini Boneka Macam Apa

oleh: Pribakti B *)

Ironi hidup sering agak memalukan: sebenarnya kita sudah menjadi budak, tapi kita merasa sebagai tuan. Sering kita masih merasa bahwa kita telah berada di suatu wilayah keabadian, padahal sebenarnya kita sudah “nyungsep” kedalam comberan kefanaan yang hina. Tak mengherankan bila disekitar kita ini selalu saja ada saja boneka yang tak menyadari bahwa dirinya hanyalah boneka.

 

Boneka macam ini bisa saja dengan pongah menuding orang lain sebagai boneka. Tahukah kita ini jenis boneka macam apa? Aliansi politik mengubah manusia, politisi, menjadi boneka yang tak punya pilihan bebas. Ini jenis boneka demi ambisi politik, nafsu untuk terkenal, keinginan menjadi kaya, hasrat untuk menjadi terpandang , sekaligus menjadi boneka bagi rasa penasaran dalam memandang nasib pribadinya, mengapa setiap saat selalu kalah

 

Apapun kategorinya, saya kira, boneka ya boneka. Dia telah mereduksi kemuliaan- kemuliaan dan keagungannya sendiri . Dia bukan lagi individu yang mandiri, dan otonom. Tapi mengapa di dunia ini ada saja orang yang bersikap seperti “ maling teriak maling”? Padahal etika keagamaan dan politik itu intinya mengajak kita menghormati orang lain. Dan hanya politisi yang terhormat memenuhi aturan etis itu. Di mata politisi yang terhormat, lawan politik pun dihormati.

 

Itu dulu, ketika Indonesia belum bangkrut secara politik. Kini politisi besar sudah pergi dan tak pernah kembali. Yang tersisa sekarang tersisa hanya politisi-politisi kecil. Kalau sekarang ada yang kelihatan besar, mungkin hanya suaranya, ambisinya dan segenap keserakahannya. Saya bukan politisi, bukan orang partai. Tapi sikap politik saya memihak secara tulus pada kebenaran yang saya yakini. Dengan begitu jelas, sikap saya ini tidak meminta bayaran uang, atau hadiah jabatan, karena ketulusan tak bisa dinilai dengan harta dunia dalam sorak apapun. Juga tidak bisa ditukar dengan pujian-pujian tepuk tangan yang belum tentu tak menjebak.

 

Pendirian politik ini boleh jadi juga merupakan gambaran bahwa saya pun hanya boneka. Tapi saya boneka bagi aspirasi kultural yang berkembang sejak lama, yang mendambakan agar negeri ini dipimpin oleh orang yang siap untuk mengabdi pada kesejahteraan bangsa, khususnya kaum miskin yang hingga kini belum tahu bagaimana rasanya menjadi tidak miskin.

 

Jika ada orang menilai sikap politik ini sebagai kampanye , ada baiknya ditegaskan, pemihakan ini lebih dalam dari sekadar kampanye yang kehilangan kiblat ideologis, yang sibuk menjelekkan pihak lain. Sebagai warga negara, saya sedang memainkan ideologi kerakyatan dan sikap yang jelas membela agar ideologi itu diterapkan dalam tindakan politik yang jelas.

 

Di negeri ini jarang orang bersedia menjadi sejenis lilin, yang siap menerangi kegelapan sekitarnya, dengan risiko punah di “sini” tapi abadi di “sana”. Hanya politisi besar dan siap menjalani casting peran seperti itu. Hanya partai politik yang masih waras yang masih ingat akan perlunya mengatur peran ini, peran itu. Tujuannya agar ideologi partai politik tersebut tak membeku dan menjadi batu yang bisu terhadap jerit kaum miskin dan rakyat pada umumnya, yang tersia-sia dalam masa kepemimpinan yang tak peduli negara, bangsa dan rakyatnya sendiri.

 

Maka sungguh mulialah boneka yang berperan demi kesejahteraan rakyatnya. Mulialah boneka yang menunjukkan bahwa dirinya masih merupakan wujud tersambungnya idealisme masa lalu , yang agung dan besar, dengan kehidupan politik partai hari ini. Boneka seperti ini, berapa harganya? Ini pun tak diperjual belikan. Di dunia politik, masih ada idealisme yang mengambang di depan hidung, yang bisa diterjemahkan menjadi apa yang disebut pembebasan untuk bangsa . Duit tak selalu relevan dalam perjuangan sejati seperti itu.

 

Ini baru menjadi boneka untuk partai, untuk golongan, untuk bangsa. Nabi-nabi, para rasul dan orang suci menjadi boneka Tuhan untuk menunjukkan bahwa hidup ini berada di bawah kendali kepemimpinan “ langit” yang agung .Dan mereka semua, yang mulia-mulia tadi, sungkem, sujud, dengan jiwa taat, sendiko dawuh, dan tak merasa hina menjadi bonekanya Tuhan.

 

Disini jelas boneka itu barang agung dan mulia, dan bukan kata benda, bukan kata jadian, bukan pula kata jadi-jadian. Boneka ini kata kerja, yang mengabdi, tapi memilih pengabdian mulia, bagi kemuliaan manusia, negeri dan warganya. Pertanyaannya, siapa mau menghina boneka sesudah tahu bahwa kita ini hakekatnya hanya boneka belaka?

*) dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan