Perubahan Iklim Pengaruhi Gaya Hidup Global
Jakarta, 22 Februari 2024 – Krisis global, harga komoditas global yang meningkat menyebabkan krisis ekonomi dan sosial, perubahan iklim yang membalikkan beberapa agenda pembangunan dan secara tidak proporsional mempengaruhi gaya hidup global.
Demikian disampaikan Dr. Yayan Ganda Hayat Mulyana dalam acara Foreign Policy Circle’s Talk: “South-south Cooperation: Its Continued Significance and Future Challenges” yang diadakan oleh Universitas Paramadina bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) dan sekaligus dilakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Diskusi ini diadakan secara hybrid bertempat di Auditorium Firmanzah, Universitas Paramadina pada Kamis (22/2/2024), dimoderatori oleh Maulana Syahid, dan bertindak sebagai penanggap adalah Muhammad Iksan selaku Dosen Universitas Paramadina dan Penny Dewi Herasati Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kemenlu RI.
Yayan yang juga merupakan Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kemenlu RI menegaskan bahwa kerjasama Selatan-Selatan muncul sebagai mercusuar harapan yang menawarkan jalan menuju dunia yang lebih adil dan makmur. Dengan ini dapat memperkuat solidaritas dan persatuan di antara negara-negara di dunia.
“Pertama, berfungsi sebagai firewall melawan persaingan geopolitik yang meningkat. Kedua, kerjasama Selatan-Selatan muncul sebagai kekuatan pendorong untuk mencegah konflik, resolusi, dan pembangunan perdamaian. Ketiga, kerjasama Selatan-Selatan memiliki potensi sebagai penggerak pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.” Ujarnya.
Fungsi keempat menurut Yayan, dalam menghadapi degradasi lingkungan dan perubahan iklim, kerjasama Selatan-Selatan semakin penting sebagai pengemudi pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan. “Kelima, di tengah krisis kemanusiaan dan darurat kesehatan global, kerjasama Selatan-Selatan menawarkan tali kehidupan solidaritas dan dukungan baik dalam merespons bencana alam, gelombang pengungsi, atau pandemi seperti COVID-19” paparnya.
Dalam pidato pengantarnya Dr. Handi Risza, Wakil Rektor Universitas menyatakan bahwa bahwa Selatan Global telah menjadi kekuatan yang kuat dalam tata kelola global, “Juga menjadi advokat bagi forum dan organisasi baru, serta menjadi katalisator untuk inisiatif pembangunan yang bertujuan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, negara-negara yang termasuk dalam Grup Kerja Sama Selatan-Selatan (SSC) akan menjadi kekuatan ekonomi yang signifikan di masa depan” terangnya.
Handi memiliki harapan besar Indonesia dapat memberikan solusi terbaik untuk permasalahan yang terjadi setelah COVID-19. Diketahui bahwa dunia kembali dihadapkan pada krisis geopolitik yang kemudian melahirkan krisis yang berkelanjutan dan konflik multi-level yang saling terkait satu sama lain.
Yuefen Li, Senior Advisor on South-South Cooperation and Development Finance the South Centre memaparkan bahwa status Pusat Kajian Selatan-Selatan itu sebagai wadah besar untuk menegakkan kepentingan global Selatan dengan beranggotakan 55 negara berbasis di Jenewa.
“Hal yang harus dilakukan saat ini adalah memanfaatkan jaringan intelektual yang bertujuan untuk memberikan dukungan intelektual dan kebijakan kepada negara-negara Selatan. Ini menjadi lebih penting mengingat semakin besarnya beban perekonomian negara-negara berkembang dalam perekonomian dunia.” Urai Yefen.
Li melihat, dunia sedang menghadapi tantangan global yang sangat mendesak. Maka dari itu sangat penting untuk membangun kapasitas di negara-negara berkembang berdasarkan rekomendasi kebijakan yang telah disampaikan. “Saya ingin menyampaikan bahwa meningkatkan kemitraan multi-stakeholder yang inklusif sangat penting untuk memperkuat dalam skala yang mendalam serta berkontribusi terhadap implementasi di 2030 mendatang” imbuh Li.
Berikutnya, Maria Renata Hutagalung Director of International Development Cooperation, MoFA (ТВС) memaparkan bahwa pelajaran yang dapat diambil oleh Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi yang menaungi peran aktif dalam kerja sama internasional dan mendorong perdamaian global. “Hal ini merupakan salah satu kerangka kerja yang efektif untuk mengartikulasikan agenda mulia dan mempromosikan sejak awal berdirinya Republik dengan semangat solidaritas ketika menjadi tuan rumah Asia yang pertama.” Ucapnya.
Banyak negara telah mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar dan melaksanakan pembangunan ekonomi mereka serta dibantu untuk membukakan jalan kolaborasi yang kuat sehubungan dengan relevansi Kerjasama Selatan-Selatan. “Hal ini juga memperkuat kekuatan kolektif negara-negara berkembang dalam struktur tata kelola global dan meningkatkan akses pasar melalui hubungan yang lebih kuat dengan memanfaatkan potensi negara-negara berkembang di pasar global” tegas Renata.
Yuliana Indriati, Direktur Pengembangan Usaha PT. Biofarma saat ini sedang mengembangkan kemitraan global yang kuat dengan fokus pada pasar Afrika. Dengan pengalaman dan keunggulan dalam produksi vaksin dan produk farmasi lainnya, PT. Biofarma telah menjadi pemain kunci dalam industri ini.
“Melalui anak perusahaan dan kemitraan strategis, telah berhasil memasuki pasar global, termasuk ke Afrika, dengan produk-produk berkualitas tinggi. Dengan strategi yang berfokus pada penetrasi pasar, keunggulan kualitas dan kolaborasi yang efektif memiliki komitmen untuk terus meningkatkan kehadirannya di pasar global, dengan tujuan utama meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia” tutur Yuliana.
Dima Al-Khatib, Director of the United Nations Office for South-South Cooperation (UNOSSC) melihat kerja sama Selatan-Selatan telah menjadi landasan yang penting untuk solidaritas global dan ketahanan di tengah tantangan dan peluang yang kompleks. Dengan kepemimpinan Tunisia dalam memajukan kerja sama ini patut diakui, terutama di tengah dinamika kerja sama yang dipengaruhi oleh disparitas ekonomi, ketidakstabilan politik dan krisis lingkungan. Pada saat yang sama, pandemi COVID-19 telah menyoroti pentingnya respons krisis yang efektif dan ketahanan kesehatan.
“Tantangan masa depan bagi kerja sama Selatan-Selatan meliputi kebutuhan akan peningkatan digitalisasi, penanganan perubahan iklim, dan meningkatkan perdagangan dan investasi di antara negara-negara Selatan global. Untuk mengatasi tantangan bersama ini, diperlukan rekomendasi kebijakan yang komprehensif, termasuk peningkatan investasi dalam penelitian dan pengembangan bersama, memperkuat struktur tata kelola untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan mengeksplorasi mekanisme pembiayaan baru” tegas Dima.
Dima berharap dukungan dari sistem pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kerja sama Selatan-Selatan dapat terus menjadi modalitas penting untuk mendukung negara-negara yang berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai penutup, Rio Budi Rahmanto sebagai Kepala Pusat P2K Multilateral Kemenlu RI menyoroti beberapa poin penting dari diskusi yang telah diadakan. Tentu dari diskusi ini memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya kerja sama Selatan-Selatan, terutama di tengah ketidakseimbangan global yang semakin meningkat, kurangnya kepercayaan dan tantangan-tantangan baru yang dihadapi dunia saat ini.
“Kita harus memanfaatkan kerja sama segitiga dan memperkuat kapasitas nasional negara-negara berkembang untuk meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan. Penting juga untuk memperkuat kemitraan pemangku kepentingan multi dan mengintegrasikan agenda Selatan global” kata Rio.
Indonesia berencana untuk meningkatkan peran dalam kerja sama Selatan-Selatan dan memanfaatkan perusahaan nasional untuk memperluas akses pasar, terutama di wilayah Afrika yang dipandang memiliki potensi pertumbuhan besar. Hal ini juga sejalan dengan visi Indonesia 2045 tentang transformasi ekonomi.
“Dalam menghadapi masa depan, ada aspirasi untuk melanjutkan diplomasi ekonomi dan memperluas kerja sama pengembangan, sambil tetap mempertimbangkan risiko dan peluang yang ada. Kemitraan dengan universitas juga dipandang sebagai langkah penting dalam memperkuat penelitian dan inovasi,” pungkasnya.
ang