infobanua.co.id
Beranda BANJARMASIN Menyelamatkan yang Tersisa

Menyelamatkan yang Tersisa

oleh: Pribakti B, Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

 

Kalimat “ menyelamatkan yang tersisia” bisa dilihat sebagai sikap pesimistis dan berlebihan, tetapi bisa juga sebagai kesadaran yang realistis sehingga menggugah patriotisme dan semangat juang. Coba saja adakan penelitian dalam berbagai aspek dan aset bangsa, baik dari segi kekayaan alam , lembaga keuangan, pendidikan, negarawan, ilmuwan dan mungkin juga dunia perbankan.

 

Bangsa ini semakin miskin negarawan, sekian BUMN dinyatakan merugi, hutan setiap hari berkurang, lahan pertanian menyempit, lapangan kerja bertambah sulit dan seterusnya. Ibarat memanjat pohon yang amat tinggi, bangsa Indonesia telah mengeluarkan  ongkos yang teramat mahal, baik tenaga, kekayaan alam, utang luar negeri maupun modal sosial, untuk sampai ke puncak. Tetapi sungguh ironis sesampai di puncak pohon ternyata buah yang didambakan tidak ada. Yang berbuah rupanya pohon tetangga.

 

Belajar dari berbagai negara maju, ada dua pilar yang harus dibangun secara serius oleh pemerintah Indonesia kalau ingin maju secara bermartabat, yaitu menciptakan pemerintahan yang bersih dan cerdas serta pendidikan yang bagus. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan , Malaysia dan Singapura , misalnya, dua bidang itu menjadi prioritas utama sehingga buahnya mulai terlihat dan dirasakan. Sementara Indonesia, karena kedua bidang ini terabaikan, sekian banyak biaya telah habis, tetapi ujungnya justru kebingungan dan kebangkrutan.

 

Pendidikan sering dipahami dalam pengertiannya yang sempit berupa kegiatan belajar yang dalam ruang sekolah. Lebih mengerucut lagi, pendidikan menjadi semacam kursus dengan target akhir memperoleh ijazah sebagai modal melamar pekerjaan. Padahal, dalam pengertiannya yang luas, pendidikan adalah upaya sistematis untuk membangun kebudayaan dan peradaban sebuah bangsa. Carut-marut kebudayaan dan peradaban Indonesia yang kita saksikan saat ini berakar pada kegagalan pendidikan kita.

 

Merancang sebuah pendidikan selalu mempertimbangkan agenda besar pembangunan bangsa dan kondisi global. Jika korupsi telah menggerogoti seluruh upaya dan hasil pembangunan, pendidikan karakter dan apresiasi pada hukum menjadi sangat vital. Ketika produk asing membanjiri Indonesia, padahal bangsa ini kaya dengan segala macam bahan baku alam , berarti bidang keterampilan dan iptek serta wawasan global harus ditingkatkan agar kita juga bisa jadi bangsa eksportir.

 

Pertanyaannya, mengapa pendidikan kita berjalan di tempat? Karena, sejauh ini pemerintah belum menunjukkan visi, program strategis, dan tekad untuk memajukan dunia pendidikan agar kompetitif dengan bangsa lain. Pemerintah orde baru yang paling lama berkuasa tidak setia dengan spirit dan visi lagu kebangsaan Indonesia Raya. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Tetapi lebih mementingkan badan atau fisik. Itupun dengan cara tidak cerdas dan tidak bersih.

 

Ketika pendidikan tidak bermutu, berapa pun biaya yang keluar hanya akan melahirkan sarjana yang juga tidak mutu. Kondisi semakin parah ketika birokrasi pemerintahan dan dunia bisnis penuh dengn praktik korupsi. Akibatnya , proses soaial politik yang berlangsung hanaya akan semakin memperburuk  keadaan jika pemerintah ataupun yang diperintah berkolusi untuk melanggengkan kebodohan dan korupsi. Kita harus menyatakan perang terhadap korupsi.

 

Saat ini agenda yang sangat mendesak adalah bagaimana memunculkan pemerintahan yang cerdas, bersih, visioner serta memiliki komitmen kuat pada bidang pendidikan agar semakin tinggi kita memanjat pohon, bukannya semakin kecele dan semakin tinggi jatuhnya. Kita tidak bisa lagi berdalih dengan jargon masa transisi serta menyalahkan masa lalu. Kebutuhan anak-anak bangsa untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan dan kesehatan tidak mengenal masa transisi.

 

Maka untuk menyelamatkan yang tersisa, salah satu jalan strategis dan mutlak adalah menegakkan dengan tegas dalam pelaksanaan hukum, serta melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan dan riset. Belajar dari negeri kecil semacam Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Singapura, terbukti bahwa intelektual dan moral jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang kekayaan alam melimpah, tetapi minus keduanya. (*)

 

Bagikan:

Iklan