infobanua.co.id
Beranda Jawa Timur Ketum PJI Setuju Revisi UU Penyiaran

Ketum PJI Setuju Revisi UU Penyiaran

Ketum PJI Hartanto Bochori.

Blitar, infobanua.co.id – Ketua Umum (Ketum) Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) Hartanto Boechori, menyatakan bahwa, Penyiaran Bagian Giat Jurnalistik.Rencana perubahan/revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 diinisiasi oleh DPR RI. Untuk itu Hartanto Boechori, Ketum PJI setuju Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.

Menurut Hartanto hal itu sangat perlu. Penyiaran harus dimasukkan sepenuhnya sebagai bagian dari kegiatan jurnalistik, dan wajib tunduk pada UU Pers, UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta Peraturan/Aturan Dewan Pers.

“Kegiatan penyiaran tak pelak bagian dari kegiatan jurnalistik. Penyempurnaan UU penyiaran, wajib disinkronkan dengan UU Pers. Ini baru betul, bukannya seperti yang saat ini sedang diinisiasi DPR RI, revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menampilkan draf Rancangan Undang Undang (RUU) penyiaran yang menurut saya sangat amburadul dan super ngawur,” kata Ketum PJI Hartanto Boechori.

Menurut Hartanto, draf RUU penyiaran 2024 berisi pasal-pasal pembredelan layaknya masa Orde Baru. Dalam pasal 17, pasal 23, pasal 26A dan pasal 27, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) diberi kewenangan mutlak melakukan teguran tertulis, menolak perpanjangan IPP sampai pencabutan Ijin Penyiaran. Dan dalam pasal 28A, KPI dapat menghentikan sementara Isi Siaran sampai penghentian tetap.

Dalam pasal 36A, pasal 39 dan pasal 40, KPI berhak menegur tertulis sampai merekomendasi pencabutan IPP dan pemutusan akses terhadap Konten Siaran. Ini semua pasal pembredelan.

Belum lagi dalam pasal 42 disebutkan, penyiaran diatur oleh KPI dan sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI.

“Benar-benar amburadul dan super ngawur,” ungkapnya.

Lebih dalam Hartanto, menuturkan, penyiaran bagian dari kegiatan jurnalistik. Jadi harus diatur oleh Dewan Pers. Apalagi sengketa jurnalistik, itu jelas kewenangan Dewan Pers.

Pasal 50B ayat 2 huruf (c) lebih parah lagi, penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dilarang.

Jurnalisme investigasi itu kasta tertinggi dalam kegiatan jurnalistik. Seharusnya berkoordinasi dengan Ahli Pers atau Dewan Pers dulu sebelum mengajukan draf RUU tentang penyiaran, yang jelas-jelas pasti berkaitan dengan kegiatan jurnalistik.

Pasal 50B ayat 2 huruf (k) mengatur larangan konten siaran mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, seperti di UU ITE.

“Apa tidak paham kalau peraturan yang memuat istilah pencemaran nama baik berpotensi jadi pasal karet dan pasti membatasi kebebasan Pers. Kalau larangan konten yang mengandung penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme, saya setuju,” ungkapnya.

Hartanto menambahkan, terkait pasal 51 huruf E juga tidak selayaknya, bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.

Sengketa penyiaran atau sengketa kegiatan jurnalistik wajib diselesaikan sesuai amanat UU Pers, dilakukan oleh Dewan Pers.

“Saya berharap, DPR RI khususnya saya tujukan kepada Ibu Ketua DPR RI yang terhormat, segera berinisiatif menarik draf RUU Penyiaran tahun 2024 yang telah terlanjur diajukan dan selanjutnya melibatkan Dewan Pers, Ahli Pers dan Organisasi Pers untuk menggodog draf RUU Penyiaran, sejali lagi saya berharap Bapak Ibu Dewan Terhormat peka, agar gojekan Gus Dur yang menyamakan kelakuan para anggota DPR bak anak Taman Kanak Kanak tidak terbukti,” harapnya.

“Bila UU Penyiaran yang disahkan tetap mengandung cacat, parah seperti yang saya maksudkan di atas, Pers pasti akan melawan. Khususnya anggota PJI pasti akan saya dorong untuk melakukan perlawanan ekstra keras,” tegasnya.

“Dewan Pers beserta semua komunitas Pers saya minta tegas aktif menolak.dan melakukan perlawanan aktif sampai berhasil. Dan bukan hanya sekedar melawan,” pungkasnya. (Eko.B).
Sumber berita: Ketum PJI.

Bagikan:

Iklan