Kemiskinan dan Sikap Hidup
Oleh: Pribakti B
Hikayat kemiskinan di Indonesia telah tua, namun masih ada sampai sekarang . Anda dapat menjumpai di daerah perbukitan yang tandus bahkan di sekitar Ibu Kota Nusantara . Di daerah-daerah itu, bukan hanya ternak kambing dan sapinya yang kurus, tetapi juga pemiliknya. Makanan mereka masih nasi-jagung, nasi-beras hanya disuguhkan untuk tamu dari kota. Tapi apakah bagi mereka, kemiskinan merupakan penderitaan? Dan apakah sebenarnya kemiskinan itu?
Ada seorang ibu rumah tangga yang suaminya cukup terpandang dan berpenghasilan baik. Ia dapat makan lebih dari cukup, rumahnya cukup besar, dapat menyekolahkan anak – anaknya , namun ia merasa dirinya masih sial dan miskin. Ia iri hati kepada mereka yang sederajat dengan suaminya , tetapi memiliki mobil lebih bagus dan rumah lebih mewah.
Sebaliknya , di sebuah desa hidup seorang petani peladang dengan rumah dari bambu, berlantai tanah, nasinya jagung dan lauknya selalu tempe dan tahu. Keluarga petani itu hidup tenteram. Hidupnya tenang, tidak cepat iri dan panas hati terhadap rezeki orang lain. Lalu, sebenarnya apa yang dicari dalam hidup ini? Kaya tetapi tidak pernah tenang hatinya, selalu iri, selalu merasa masih belum kaya? Atau menyadari kekurangannya dan menerima kekurangan itu apa adanya dan menjalankan hidup ini sebaik mungkin.
Inilah masalah kita sekarang ini. Kemiskinan adalah penderitaan. Padahal kemiskinan dapat pula bukan penderitaan. Semua tergantung pada sikap. Harta milik adalah rezeki, keberuntungan akibat usaha kita. Manusia boleh berusaha tetapi rezeki tetap bukan kita yang menentukan. Tuhan memberikan sinar matahari untuk semua orang di dunia, baik orang miskin maupun orang kaya, baik orang jahat maupun orang saleh. Kita dapat hidup dan keras berusaha, tetapi rezeki yang kita dapat hanya pas-pasan belaka. Sebaliknya , ada orang yang jelas suka manipulasi, pemalas , mau enaknya sendiri saja, namun rezekinya mengalir.
Sikap kita menghadapi rezeki dan kekayaan, sikap kita dalam menghadapi ketidakberuntungan dan kemiskinan, akan menentukan apakah kita akan menderita atau tidak. Penderitaan itu bukan hanya berasal dari persoalan harta milik. Penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan. Penderitaan berasal dari sikap hidup kita sendiri. Sikap untuk menerima kenyataan sebagai kenyataan yang harus diterima. Waktu kita beruntung, kita terima dengan rasa syukur, waktu kita tidak beruntung, kita terima sebagai kenyataan yang memang harus demikian. Sikap hidup yang siap menerima apa adanya, sambil kita sendiri berusaha berperilaku seperti apa yang kita anggap paling baik, sesuai dengan hati nurani paling bersih , maka dunia akan menjadi terang.
Penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan. Penderitaan ada dalam hati manusia, dalam sikap hidupnya. Merasa disingkirkan, tak disenangi lingkungan, adalah penderitaan. Merasa tertekan, tidak bebas, adalah penderitaan. Merasa berbuat salah adalah penderitaan. Menanggung sakit berat adalah penderitaan. Dihina dan direndahkan orang adalah penderitaan. Dan seribu satu macam sumber penderitaan lain.
Kemiskinan hanyalah salah satu dari sumber penderitaan . Dan kemiskinan itu relatif lebih mudah menghilangkannya dari daftar sumber penderitaan manusia. Justru ada manusia yang baru bahagia setelah menjadi miskin. Terdapat sejumlah orang dalam sejarah yang meninggalkan kekayaan dan sengaja menjadi miskin untuk mencari kebahagiaan hidup. Dungeon kemiskinan itu hatinya lebih bersih tak terikat oleh nafsu duniawi. Tinggal melawan nafsu yang mementingkan diri sendiri. Nafsu untuk dipuja, dikenal, dihormati, disanjung. Nafsu badaniah berupa kenikmatan, kemudahan dan kenyamanan hidup.
Bahkan miskin kadang merupakan berkah. Orang miskin lebih dekat dengan kebenaran. Ikatannya pada duniawi agak tipis. Kita dapat hidup miskin seperti burung di udara. Mereka hanya punya satu sarang, mencari makan setiap hari, dan istirahat pada waktunya. Dan mereka terus menyanyi gembira tiap hari. Mereka tidak terikat pada kemauan menumpuk makanan untuk hari esok dan menjamin hidup tujuh keturunannya.
Mereka tidak saling iri hati karena burung tetangganya lebih kaya atau sarangnya lebih bagus. Orang miskin mirip burung. Bebas , menyanyi dan memuji Tuhan Penciptanya tiap hari. Hidupnya menjadi tenang. Tetapi manusia melihat segalanya. Manusia ingin hidup nikmat dan mudah. Kalau bisa , tanpa harus kerja keras, tetapi kekayaan datang sendiri. Dan manusia merasa menderita, meskipun sudah cukup kaya. Dalam pandangan saya, yang perlu dihilangkan bukanlah kemiskinan, tetapi kita harus mempertebal sikap hidup yang benar. Menurut Anda, bagaimana?