infobanua.co.id
Beranda Opini Berhentilah Menumpuk Ego  

Berhentilah Menumpuk Ego  

oleh: Pribakti B *)

 Kala kondisi ekonomi makin mencekik dan manusia miskin nalar , maka keberingasan pun meledak. Potret itu bisa kita lihat baca di media sosial. Mereka gampang marah dan anarkis. Tersangka maling yang diamankan polisi pun direbut untuk dihakimi. Alasannya , biar yang lain kapok. Sepertinya semakin banyak orang salah paham terhadap dirinya sendiri hingga sering menganggap diri sendiri paling penting, paling layak diurus, paling kaya dan paling kuasa . Kesalahpahaman itu kadang begitu sengitnya hingga pada tingkat anarkis hingga menganggap orang lain sama sekali tidak penting,  tak berhak menjadi pesaing dan akhirnya tak boleh memiliki hak hidup.

 

Maka atas nama kecintaan diri sendiri , orang lain harus dihapuskan. Padahal mari kita tengok posisi orang lain itu dalam hidup kita. Kita lihat siapakah yang lebih penting antara orang lain dan diri sendiri, serta siapakah diri sendiri dan siapa orang lain. Banyak orang menyangka bahwa diri sendiri berbeda dengan orang lain sehingga terhadap diri sendiri manusia sering memanjakannya dengan tumpukan ego. Sekarang mari kita lihat fakta-fakta berikut dan mari kita buktikan betapa penumpukan ego secara berlebihan adalah bunuh diri secara perlahan.

 

Kita mulai saja dari kasus seseorang yang begitu bersemangat menumpuk kekayaan pribadi . Dari mana sejarah penumpukan ini dimulai? Pada awalnya , bisa saja ia berangkat dari filosofi yang sehat dan wajar-wajar saja: untuk sanggup menolong orang lain, harus kuat menolong diri sendiri. Sebelum kuat “memberi” orang lain, diri sendiri harus lebih dulu memiliki. Filosofi ini benar dan bisa dimengerti. Yang kurang diperhatikan kita ialah : apapun kehebatan filosofi itu, kalau diperas,muaranya tetap saja diri sendiri. Dari sanalah sebenarnya tafsir terhadap diri sendiri bisa tergelincir sedemikian rupa. Terbukti, banyak pemakai filosofi ini akhirnya menjadi pihak yang tak cuma cukup dengan “sekadar memiliki” tapi juga harus ”banyak memiliki” , lalu berkembang lagi menjadi “memiliki amat banyak sekali” dan akhirnya “semua ingin dimiliki”.

 

Memang keinginan manusia tiada pernah habis. Apalagi jika hasrat itu tak terkontrol. Biarpun harta segunung misalnya, tak pernah merasa cukup. Kendati pangkat memberati pundak umpamanya, masih tak puas. Maka , alih-alih tenteram yang didapat, yang mencuat justru keserakahan. Manusia boleh melakukan apa saja asal wajar. Mau jadi koruptor boleh saja, asal wajar. Manusia boleh keliru , boleh jahat dan boleh rakus sepanjang tidak keterlaluan. Alam sebetulnya sangat toleran pada kesalahan manusia sepanjang ia belum menjadi kebiadaban. Tetapi betapa sulitnya manusia menempati kewajaran. Kalau ia korupsi, harus banyak sekali. Jarang manusia mau berhenti dalam takaran biasa-biasa saja. Manusia selalu ingin menjadi luar biasa, bahkan dalam melakukan ketololan sekalipun.

.

Solusinya? Mudah dan sederhana. Coba hati diajak dialog agar tak membatu. Jujur pada diri sendiri. Menyalahkan orang lain-untuk penderitaan sendiri-niscaya hanya menambah satu penderitaan lagi. Koreksi batin. Mengapa kesusahan demi kesusahan menghampiri kita? Mengapa penyakit datang?  Dalam kekusutan hidup pasti terkandung pesan dan hikmah. Ketika merugikan orang lain, kita sendirilah yang merugi kelak. Dan , kala menyusahkan orang, kita sendiri pula yang menanam kesusahan itu. Jadi , penyebab utamanya bersumber pada diri sendiri. Kita sendiri yang mengundang permasalahan. Perbuatan buruk yang kita lakukan justru akan mengantar pada kenestapaan, yang mungkin saja malah berkepanjangan.

 

Maka benarlah kata orang bijak bahwa sebelum menguatkan orang lain, kita manusia harus menguatkan diri sendiri. Tetapi yang terjadi kemudian, penumpukan kekuatan ini tak cukup cuma sekadar kuat melainkan harus menjadi kuat sekali, amat sangat kuat sekali dan akhirnya semua kekuatan harus dimiliki. Hal yang tak  pernah kita duga adalah ketika orang yang mulai dianggap begitu kuat ternyata malah menjadi pihak yang begitu lemah.

Maka mulailah manusia yang merasa kaya perlu membangun tembok tinggi, manusia yang terancam  perlu membangun tempat untuk sembunyi . Jika diusut , tembok tinggi  hingga bodygard itu tak lain adalah produk rasa cemas. Jika diusut lagi , rasa cemas itu ternyata bersumber dari kepemilikan , entah itu berupa kekayaan, ketenaran, hal yang dicari manusia dengan segenap kerja keras, segenap ambisi, keringat , air mata dan darah.

 

Kalau kembali harus mengusut, ternyata terbukti betapa konyolnya manusia. Betapa yang dicari selama hidupnya itu, dengan segenap kerja keras dan ambisinya itu , tak lebih cuma berupa kecemasan. Jadi , ego yang diagung-agungkan, ego yang ditumpuk ternyata berbuah takut dan cemas. Betapa penumpukan ego sebetulnya adalah yang sangat destruktif. Dan situasi Indonesia saat ini sebetulnya adalah bukti, betapa penumpukan ego para pejabatnya telah membuahkan akibat-akibat yang dramatis. Satu hal yang harus segera dikembalikan ke tengah bangsa ini adalah pentingnya apresiasi hak hidup orang lain. Orang lain dan diri sendiri adalah dua gambar disebut mata uang yang sama. Membunuh salah satu gambar tak beda membunuh semuanya. Maka mencintai diri sendiri tanpa mencintai orang lain adalah ketololan kita.

 

*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan