infobanua.co.id
Beranda Opini Hutang dan Mentalitas Bangsa

Hutang dan Mentalitas Bangsa

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Pada dasarnya tak satu pun manusia di alam semesta ini yang mau dijajah, ditindas, diinjak-injak, dibohongi dan tidak dimanusiakan oleh manusia lain. Selain karena manusia sudah kian mengerti arti kebebasan dan kesadaran diri di hadapan manusia maupun alam semesta, juga karena manusia kian memahami arti penting harkat dan martabat sebagai manusia. Manusia kian memahami, dirinya dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka.

 

Namun, jika berikutnya kita masih menyaksikan betapa penjajahan, baik dalam bentuk fisik dan terutama nonfisik dewasa ini, tentu saja ini harus dilacak lagi dengan memahami peluang manusia untuk serakah dan menindas orang lain. Kenyataannya di Indonesia masih ada manusia atau kelompok yang ingin menguasai orang lain dengan menekan, memaksa dan mengintervensi urusan orang lain yang bukan kewenangannya. Akibatnya bayi- bayi yang dilahirkan saat ini tidak merdeka alias menanggung beban hutang. Dengan demikian kebebasan yang setiap hari dicita-citakan itu sebenarnya tidak ada sama sekali.

 

Rakyat Indonesia umumnya secara empati benar-benar menyadari, realitas hidup bangsanya saat ini ada pada sebuah ketergantungan dengan bangsa lain. Apa yang dirasakan rakyat hanya sebatas merasakan bahwa orientasi pembangunan negaranya hanya mengejar dan berebut dollar. Ekspor dipicu setinggi-tingginya untuk mencari dollar , tetapi dengan cara halus agar petani, buruh dan nelayan menyerahkan subsidi miliknya. Buruh dihargai murah, padi petani dihargai murah dan pupuknya dihilangkan dari pasaran, nelayan dihantui berbagai peraturan kelautan yang ketat dan seterusnya adalah fenomena-fenomena yang setiap hari dirasakan rakyat.

 

Dengan “taktik subsidi” seperti inilah barang industri menjadi murah tetapi rakyat kecil hidup dalam kemiskinan. Mengapa demikian? Jelas jawabannya karena industri berdiri di segenap penjuru republik ini disubsidi kaum miskin. Bukan hanya mereka hidup dalam kemiskinan, tetapi lebih parah lagi adalah kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem yang akhirnya terjadi pembunuhan secara diam, tetapi sistematis terhadap kaum lemah dan ini terjadi. Sungguh suatu pemandangan yang amat ironis.

 

Bukankah ini lebih penting dipikirkan lebih dalam daripada sekadar berpolemik kita butuh dan tidak butuh hutang?

Termasuk tentunya mental bangsa yang keropos karena sistem  pendidikan selama ini hanya menghasilkan manusia instan. Mental kerja keras dan berani hidup dalam persaingan belum menjadi bagi kultur bangsa ini. Apalagi berani menderita demi bangsa. Kultur ini agaknya sulit diterapkan karena selama ini kita terbiasa hidup dalam pola yang mudah. Mentalitas bangsa ini lebih suka menjadi pengemis, mental menodong dan menipu. Baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan, kita hanya bernyali untuk menjadi perampok melalui perbagai kebijakan politik dan ekonomi. Mentalitas seperti ini amat ironis dimiliki bangsa yang berbudaya dan beragama seperti Indonesia; membudaya di semua lapisan masyarakat dari kelas teri sampai atas.

 

Tidak mengherankan bila banyak ahli yang meramalkan Republik ini kedepan  akan menghadapi realitas bahwa kita hidup karena belas kasihan bangsa lain. Realitas ini harus menjadi cermin untuk mengadakan refleksi dengan melihat akar budaya yang kita miliki. Mengapa hal ini terus terjadi? Apakah ada kaitannya bahwa kita sebenarnya belum siap menjadi bangsa mandiri? Ketidaksiapan yang kerap membuat elite politik dan ekonomi telat untuk melihat realitas yang ada kini.

 

Namun, kita harus melihat kegugupan-kegugupan seperti ini merupakan bagian dari proses pembelajaran bangsa ini. Tanpa perlu mengutuk negeri lain, namun belajar dari sebuah kesalahan yang pernah diperbuat. Proses berjalan bangsa ini belum final. Apa yang harus kita buat? Jelas kita harus mau meretas harga diri agar tidak sekadar identik dengan sebuah gelar, kekayaan dan jabatan. Harga diri lebih banyak ditentukan dibidang moral, kebijakan dan keadilan. Jadi , bila hal ini sudah menjadi karakter bangsa, barulah kita mengatakan kita tidak perlu banyak  berhutang .

 

Masalahnya, bagaimana kita mau mengutuk negara pemberi hutang, sementara kita adalah bangsa yang karakter elite politiknya, pejabatnya, intelektualnya masih dalam taraf menjadi “tukang”? Bagaimana kita mau mengusir pemberi hutang sementara kita senang mengorupsi uang hasil hutangan yang diberikan kepada kita?  Padahal sekiranya kita mau hidup jujur dan lurus saja sudah lebih dari cukup, pasti akan banyak sekali proyek pengentasan orang miskin yang dapat kita laksanakan di Indonesia tercinta ini.

Bagikan:

Iklan