Adakah Kita Masih Bertanya ?
Oleh: Pribakti B
Bertanya adalah latihan berpikir . Bertanya menandakan seseorang sedang berpikir atau memikirkan sesuatu yang sedang menjadi persoalan dirinya. Menerima jawaban sebanyak-banyaknya itu tidak berpikir. Pikirannya hanya mencerna jawaban-jawaban dan itu hasil pertanyaan orang lain. Menimbun jawaban tidak serta merta seseorang mampu membuat pertanyaan sebab aneka jawaban itu tak pernah ditanyakan.
Salah satu ciri orang cerdas adalah kecenderungannya untuk selalu dan suka bertanya, termasuk mempertanyakan hal-hal yang paling ”pantang” sekalipun. Karena selalu dan suka bertanya menjadi kecenderungan yang tak dapat dia elakkan, bahkan kemudian menjadi hal yang diasyiki. Maka ada proses yang mendorong tumbuhnya kebiasaan bertanya. Pada gilirannya kebiasaan bertanya itu sendiri yang mendorong seseorang mencapai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Dan begitu seterusnya.
Tidak hanya itu, membudayakan kebiasaan bertanya berarti menumbuhkan budaya dialog. Kebiasaan bertanyalah yang memapu merambah ketunggalnadaan budaya monolog. Kebiasaan bertanya mempersingkat jarak komunikasi, memperjelas duduk masalah. Ia bukan meretakkan, bahkan akan mempererat kebersamaan . Kebiasaan bertanya meningkatkan kualitas bangsa.
Jika kita sudah berhenti bertanya, maka akibatnya adalah tak bakalan kita pernah peroleh jawaban-jawaban baru. Dan jika tak ada jawaban-jawaban baru, kita pun akan hidup sebagai bangsa yang hanya mengunyah-ngunyah dan mengulang-ulang jawaban lama. Dengan hanya mengandalkan jawaban-jawaban lama, kehidupan kebangsaan kita terancam mandek. Kita akan menjadi bangsa yang semakin lama semakin kerdil. Kita akan menuju masa lampau dan bukannya melangkah ke masa depan. Kita tak mungkin menjadi bangsa yang cerdas, jika kebiasaan bertanya malah dicurigai sebagai budaya liberal, budaya import, budaya yang tak menghargai tata krama dan tepo seliro.
Disadari atau tidak, manusia Indonesia lebih suka menerima jawaban daripada mengajukan pertanyaan. Jawaban , ajaran, nasihat itu yang dicari. Maka orang berduyun-duyun mendatangi guru atau yang dianggap guru , bukan untuk bertanya, tetapi untuk mendengarkan aneka jawaban yang tak pernah mereka tanyakan. Hampir semua jawaban ditelan begitu saja karena percaya hal itu mengandung kebenaran.
Mengapa bangsa ini lebih suka jawaban daripada pertanyaan? Karena hidup di Indonesia tak perlu pertanyaan. Ibarat tongkat kayu menjadi tanaman seperti dinyanyikan Koes Plus. Dengan bekerja 08.00-14,00 , sudah cukup. Untuk apa meniru bangsa lain , yang pulang pukul 18.00? Bekerja di sawah itu cukup pukul 06.00-12.00, mengapa harus sehari suntuk? Tidur siang itu penting bagi orang indonesia . Indonesia ini zamrud khatulistiwa, gemah ripah loh jinawi, penghasil tanaman remapah-rempah yang tak harus dijadikan industri. Lempar saja batang cengkeh, akan tumbuh sendiri. Lalu untuk apa bertanya? Untuk apa berpikir? Pertanyaan hanya penting buat teka-teki. Dan teka-teki itu hiburan. Mengapa harus kerja keras bertanya dan berpikir?
Bertanya dan berpikir itu hanya cocok dilakukan di luar jam kerja, sambil nyeruput teh atau kopi sore hari. Pertanyaan yang diajukan sejak nenek moyang sama saja , yakni soal isi itu kosong, kosong itu isi. Jawabannya boleh baru meski lebih percaya jawaban lama. Tidak heran bila tradisi kurang bertanya dan berpikir ini tampak di lembaga – lembaga pendidikan kita. Guru sebagai pemegang otoritas kebenaran tidak pernah dibantah muridnya. Jika dibuka pertanyaan, hanya satu-dua yang bertanya. Dan jawaban guru atas pertanyaannya sendiri (atau pertanyaan yang dihafal dari buku-buku) sudah cukup bagi murid-murid.
Dalam bimbingan karya tulis, para mahasiswa paling sulit menyusun pertanyaan. Padahal setiap karya tulis sebenarnya dimulai dari pertanyaan. Mereka hanya butuh jawaban-jawaban. Yang mereka ketahui adalah jawaban final. Lalu apa yang harus ditanyakan? Bukankah pertanyaan itu untuk orang bodoh, orang yang belum tahu? Jika sudah tahu, mengapa harus bertanya? Anak usia lima tahun biasanya cerewet dengan aneka pertanyaan. Apakah kawin itu mama? Mengapa adik keluar dari perut? Mengapa burung bisa terbang? Mengapa papa suka marah? Mengapa kita tak punya mobil, padahal tetangga punya mobil lima? Ah, dasar lu cerewet. Diam!
Itulah bencana nasional pertama. Tidak boleh bertanya. Berbagai pertanyaan harus disusun dalam proposal lebih dulu. Pertanyaan semacam itu sama sekali tidak pantas dan hanya boleh diajukan di dewan. Pertanyaan semacam itu bukan pada saya, tetapi pada pihak sana dan pihak sini. Begitu saja ditanyakan , saudara sudah tahu jawabannya! Anak yang banyak bertanya, itu tidak normal. Anak normal adalah penurut , menerima semua jawaban tanpa tanda tanya.
Jadi jelaslah , bertanya bukan budaya manusia Indonesia. Menimbun jawaban sebanyak mungkin itulah budaya Indonesia. Yang boleh bertanya hanya guru besar, para pemimpin bangsa , pemegang ototritas. Bertanya itu tidak normal. Hanya mereka yang berkuasa boleh bertanya, bukan karena tidak normal, tetapi dengan bertanya, mereka menghindari pertanyaan. Atau aneka pertanyaan mereka telah ada jawabannya.
Di Indonesia, buku paling laris menjelang ujian adalah kumpulan soal dan jawaban. Di Indonesia kebenaran dan jalan kebenaran hanya satu, tidak dipersoalkan lagi. Atau semua pertanyaan ada jawabannya. Itu sebabnya pertanyaan tidak tumbuh subur di Indonesia sehingga beranak, bercucu dan bercicit. Padahal manusia berkembang, wawasan manusia diperdalam, kesadaran manusia dicerahkan oleh berbagai pertanyaan.