Penyakit Politik Kita
oleh: Pribakti B *)
Berbagai peristiwa akhir – akhir ini, salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK kental nuansa politik, mempertegas bahwa kita kian jauh dari cita-cita reformasi . Bagaikan tubuh, politik kita sudah kehilangan rasa. Ia berjalan dalam kondisi tidak sehat.
Dengan kata lain , terutama menjelang Pemilihan Umum 2024 politik kita mengidap penyakit parah dan sulit diobati. Karena aroma dari dalam tubuhnya adalah kebusukan. Darimana sumber kewenangan MK mengubah periode masa jabatan pimpinan KPK? Itu kewenangan mutlak pembentuk Undang-Undang (UU). Tertib konstitusi menjadi rusak akibat MK ikut bermain politik.
Disadari atau tidak, penyakit politik kita sudah begitu kronis. Penyakit itu ditunjukkan dengan ketidakjelasan arah mau dibawa kemana bangsa ini. Semua serba tidak jelas dan seakan tidak jelas oleh para pelakunya, elite politik. Hukum dibuat dan diperlakukan sebagai “politik dagang sapi”, rakyat hanya menjadi dagangan politik. Uang menjadi segalanya. Dan, mereka sama sekali tidak sadar bahwa itu membuat kita semakin terjerumus ke jurang yang dalam.
Dari jurang yang dalam itu , yang bisa dilakukan hanya keluh kesah mengadu ke bunda pertiwi yang sudah kehilangan air mata. Barang dagangan alias komoditas politik itulah yang saat ini diproduksi besar-besaran dalam berbagai UU yang disahkan lembaga dewan terhormat kita. Produk UU di negeri ini selalu berorientasi kepada kekuasaan, yakni untuk memperkukuh state daripada untuk mengatur rakyat dan kedaulatannya.
Memang, tampak rakyat dibuat seolah berdaulat, tetapi sebenarnya rakyat tidak memiliki akses untuk membangun kedaulatan. Kedaulatan hanya sekadar slogan. Kedaulatan dimaknai sekadar upacara rakyat guna meniup landasan kekuasaan pada penguasa. Dengan demikian, kekuasaan selalu menghegemoni kedaulatan. Kedaulatan yang semula merupakan hak dasar tiap inidividu telah direbut paksa oleh kekuasaan.
Kekuasaan cenderung menuhankan dirinya. Dia telah memproduk dirinya sebagai lembaga superbody dan antikritik. Dugaan rakyat bahwa lembaga rakyat (DPR) memproduksi UU semata-mata berdasarkan kekuatan uang hampir-hampir bukan lagi menjadi dugaan, tetapi sudah menjadi kepastian politik. Seolah tanpa uang , tidak ada UU. Jadi benar, bahwa dalam berpolitik uang menjadi raja. Demi uang, cita-cita untuk membangun masyarakat sipil yang menghormati norma-norma hukum menjadi sirna. Cita-cita itu hanya sekadar slogan untuk memenuhi ambisi kekuasaan.
Kekuasaan telah dimaknai sebagai dewa yang harus disembah dan para pengejarnya akan bertekuk lutut di bawah kakinya. Demi tahta, pelacuran politik terjadi di mana-mana , ” Yang penting kamu bisa setor berapa?” Kata ”setoran” dalam berpolitik saat ini amat menggejala, tidak hanya di pemerintahan pusat, tetapi juga di daerah. Rakyat sudah tahu, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Sebab , saluran kiritik itu sendiri sudah ditutup rapat-rapat oleh kekuasaan dengan menancapkan hegemoni kuat-kuat agar rakyat (secara politik) terlemahkan.
Politik yang saat ini menjadi barang dagangan itu sedang dipermainkan para elite politik. Mereka tidak berpikir bagaimana rakyat bisa sejahtera melalui politik, tetapi yang penting adalah bagaimana dirinya meraih keuntungan sebesar-besarnya. Artinya politik hanya dimaknai bagaimana saya bisa berkuasa. Seakan akan tertancap kuat bahwa kekuasaan itu berlogika amat spesial. Ia bisa memberikan hak istimewa kepada peraihnya, semua boleh dilakukan untuk diri sendiri. Seolah kekuasaan itu tak bisa disentuh siapapun.
Disinilah letak problem bangsa ini! Kita tidak berani melihat masa lalu sebagai titik refleksi untuk membangun kultur baru. Untuk itu kepada elite politik yang masih dipercaya rakyat, sadarilah bahwa kecenderungan seperti ini amat memuncak dalam berbagai adegan politik yang sering dipentaskan. Dalam melihat rakyat, jangan samakan dengan cara juragan melihat buruh, dimana ia bisa ditinggalkan kapan sang juragan suka. Dan bila perilaku elite politik masih seperti itu, jangan heran bila hubungan yang tercipta antara rakyat dan elite politik sama halnya hubungan antara patron dan klien. Partisipasi politik , kritik politik dan emansipasi politik sama sekali nol! Semuanya dibuat ”seolah berpartisipasi, seolah mengkritik dan seolah beremansipasi.” Padahal semuanya tak ada artinya .
Ini karena yang terjadi di Indonesia hari ini, dalam fragmen buruk tingkah laku elite politik, sebenarnya adalah kedangkalan roh reformasi. Posisi penguasa-rakyat yang terfragmentasi sedemikian rupa tetap meletakkan rakyat pada dimensi subordinat. Rakyat tidak pernah beranjak menjadi subyek. Terus menjadi obyek. Negara sibuk dengan dinamikanya sendiri dan berbicara dengan bahasanya sendiri, yang kian hari kian tidak dimengerti lawan bicara (rakyat). Saatnya untuk mereformasi reformasi!
*) Dokter RSUD Ulin Banjarmasin