infobanua.co.id
Beranda Opini Penyakit Itu Bernama Nepotisme

Penyakit Itu Bernama Nepotisme

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Istilah “nepotisme” mencuat menjelang runtuhnya Orde Baru selama tahun 1997-1998. Saat itu nepotisme dianggap sebagai penyakit kronis bersama korupsi dan kolusi. Kumpulan penyakit yang kemudian lebih terkenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) ini telah menggerogoti pemerintahan dan institusi politik. Berbeda dengan korupsi dan kolusi, saudara dekat mereka, nepotisme seakan tidak menjadi perhatian serius.

Mungkin karena nepotisme tidak menimbulkan kerugian terlampau besar walaupun sebetulnya indikasi ke sana cukup banyak. Sebab melalui nepotisme akan terjalin jaringan yang erat sehingga tidak ada fungsi saling mengawasi dan berpotensi saling “memaafkan.” Sayangnya, wacana publik pun banyak dibanjiri informasi menyesatkan bahwa nepotisme tidak selamanya negatif. Artinya dalam nepotisme terdapat pula hal-hal positif sehingga nepotisme seolah-olah bisa dibenarkan..

Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, nepotisme ramai dipergunjingkan menjelang penyusunan daftar calon anggota legislatif tetap . Umumnya tokoh sentral partai yang mempunyai nama besar dan dikenal luas (minimal oleh konstituen partainya sendiri)  menjadi daya pikat untuk meraih suara pemilih. Pada kondisi tersebut, biasanya terjadi nepotisme berupa simbiosis mutualisme antara tokoh sentral partai dan anggota keluarganya .

Adapun alasan pembenar tokoh partai menerapkan pola kekeluargaan dalam jabatan politik, yaitu hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain. Di Filipina kita mengenal keluarga Arroyo. Di India melekat dengan tradisi keluarga Nehru dan Gandhi. Sedangkan di Amerika Serikat tak terlepas dari kiprah keluarga Kennedy dan Bush. Bagaimana di Indonesia? Sami mawon, walau praktek semacam ini tidak jarang mendapat penolakan keras dari kader internal partai. Terlebih  bagi mereka merasa telah bekerja keras untuk mencapai posisi puncak di struktural partai. Respons negatif dan gejolak ini jika tidak ditanggapi dengan bijak berpotensi merusak tatanan partai politik itu sendiri. Dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan perpecahan internal partai. Yang ujungnya kader yang merasa “terzalimi” ini akan membentuk partai tandingan.

Diakui atau tidak nepotisme menjadi andalan bagi para calon wakil rakyat karena  proses menjadi politisi di Indonesia lebih sering terjadi secara instan. Kebanyakan politisi kita bukan berasal dari proses alamiah, melainkan karena proses “karbitan.” Biasanya mereka bermodalkan uang dan pengaruh tokoh sentral partai. Tidak heran bila belakangan ini masyarakat mempertanyakan,  ada seorang anak muda, tanpa pengalaman, sat set sat set jadi ketua umum partai . Sejauh ini dialah politisi yang paling instan . Kerennya lagi, dia tidak capek-capek membangun partai dari awal. Fenomena yang sarat dengan nepotisme.

Bagaimana demokrasi di negeri kita akan berjalan dengan baik jika ketua umum partai politik model beginian? Dimana letak etika berpolitik? Cara berdemokrasi di Indonesia memang belum final, masih mencari bentuk. Perangkat demokrasi seperti partai politik, pemerintah, dan civil society kita belum berfungsi optimal sehingga sangat rentan disusupi nepotisme. Segala keputusan penting akan datang dari para tokoh sentral partai tersebut. Semua petinggi partai beserta jajarannya hanya menunggu perintah dan mematuhinya. Demokrasi di dalam partai tidak terlihat dan berjalan sama sekali. Padahal salah satu peran dan fungsi partai politik adalah menjalankan fungsi demokrasi. Anehnya , tidak ada yang berani menyimpang dari kebijakan yang digariskan dan ditentukan oleh para tokoh sentral karena bisa berdampak negatif terhadap mereka.

Timbul pertanyaan : lalu apa sebenarnya tujuan utama mereka terjun ke politik ? Kalau untuk menyuarakan aspirasi masyarakat , rasanya masih jauh api dari panggang. Beda sekali dengan di negara tetangga. Partai politik disana tidak diisi politisi asal jadi. Latar belakang mereka dari kalangan cerdik pandai dengan fondasi ekonomi yang mapan. Artinya, motivasi utama mereka terjun ke politik praktis tidak lagi persoalan menumpuk harta. Hal ini dipertegas lagi dengan perundangan yang mengatur anggota parlemen tidak diberi gaji serta tunjangan yang serba mewah.

Sementara, perundangan di Indonesia yang mengatur seleksi pejabat negara masih sangat umum dan gampang. Untuk menjadi anggota legislatif misalnya, hanya memerlukan persyaratan yang sangat ringan. Warga negara Indonesia, berbudi, berakhlak, memiliki surat keterangan berkelakuan baik, berjiwa Pancasila, tanpa dijabarkan secara konkret. Maka dari itu, nepotisme  jika ditimbang-timbang tetaplah lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Apalagi bila perundangan politik kita belum menyentuh substansinya, sampai kapan pun nepotisme  tetap menjadi penyakit kronis bersama dua saudara dekatnya yaitu korupsi dan kolusi. Semoga selamat negeri ini!

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan