infobanua.co.id
Beranda Opini Anak Polah, Bapa Kepradah

Anak Polah, Bapa Kepradah

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

Dalam masyarakat Jawa, melalui tradisi sastra lisan – di dunia perwayangan – peribahasa “Anak polah, bapa kepradah” ditampilkan dalam tindakan yang bukan hanya tak semestinya. Bahkan buruk dan tercela. Dikisahkan , Batara Guru membela mati-matian dan melindungi kemauan anaknya, Dewa Srani, secara nekat. Bahkan Batara Guru juga tidak malu dan tidak peduli terhadap saran tokoh-tokoh penting di sekitarnya.

 

Anaknya tertarik dan ingin memiliki istri Antasena. Batara Guru menahan Antasena untuk dibunuh sehingga keinginan anaknya tercapai. Namun , tindak kejahatan itu dikandaskan oleh penjaga kebenaran yang tak pernah lalai sedikit pun. Semar muncul dan menangkap Batara Guru. Lakon ini memberi kita suatu pelajaran tentang menjadi ayah yang tak begitu saja memanjakan anak.

 

Di dunia politik kita ada orang besar, ibaratnya seperti dewa, yang juga memanjakan anaknya. Pemanjaan itu dirasakan oleh masyarakat kita sebagai tindakan berlebihan. Tiap orang yang punya anak tentunya sayang kepada anaknya. Tiap orang ingin anaknya hidup dalam keadaan baik dan tak terlalu tertekan kesulitan. Namun, kalau rasa sayang kita kepada anak yang sedemikian rupa itu membuat orang lain muak melihatnya, kita wajib berpikir untuk menemukan batas yang agak anggun supaya orang menaruh rasa simpati. Orang biasa pun dirasani, dipergunjingkan orang kalau sikap dan tindakannya melampaui ukuran wajar dan kepantasan.

 

Memang kita bisa berpura-pura tidak tahu letak batas ukuran kepantasan itu. Kita bisa berpura-pura tak sadar. Tapi, orang lain selalu tahu, mereka selalu sadar. Sebab kontrol sosial selalu tampak sensitif. Apalagi di masyarakat kita yang sudah mengadopsi cara hidup demokratis ini, sensitivitas itu sering agak terasa lebih. Bahkan kita merasakannya seperti hal-hal bersifat cerewet dan bawel. Maka sudah semestinya kalau kita merupakan orang berkedudukan atau eks orang berkedudukan, kita diminta untuk agak waspada dan sensitif. Kontrol sosial mengingatkan kita untuk tidak berlebihan. Eks orang berkedudukan tak usah ambisius, apa lagi dengan blak-blakkan masih ingin menjadi ini-itu, duduk di dalam posisi ini-itu, bahkan ingin menguasai ini-itu. Biarlah ini-itu tersebut menjadi jatah orang lain. Kita tak perlu merebut jatah lagi secara mencolok dan berlebihan.

 

Bukankah itu hak setiap orang, bahkan juga orang yang dahulu sudah kenyang menikmati jatah yang dilimpahkan masyarakat kepadanya? Ya, betul. Tapi, alangkah bagusnya kalau sesekali hak tersebut kita biarkan dinikmati orang lain. Dengan begitu sebagai ayah, lebih baik kita diam, mungkin agar bisa tampil sebagai ayah yang berwibawa dan bijaksana. Dunia sastra Jawa lisan menyusun lakon Batara Guru untuk memberi suatu renungan atau mungkin sengaja menyindir halus tingkah laku kita sendiri. Namun, kita mungkin tak merasa disindir. Kita budeg. Kita ngeyel.

 

Cinta kepada anak bisa mengabaikan sama sekali cinta terhadap yang lebih luhur lagi . Cinta buta membuat kita tak merasa telah menjadi buta. Kita tak boleh tiap saat memperlihatkan kepada publik bahwa kita membela anak secara mati-matian seperti yang dilakukan Batara Guru-yang telah dibutakan oleh cinta kepada anaknya-tanpa melihat batas kepantasan atau mungkin batas etika yang tak tampak namun terasa. Kalau indra penglihatan tak mampu melihat, harusnya indra perasa masih mungkin bisa merasakan apa yang tak semestinya, kecuali jika keadaan sudah demikian parah hingga sudah berubah menjadi sebatang pohon tak berdaun.

 

Politik memang sering tak memberi kita cukup pilihan yang baik agar kita merasa lega. Pilihan sering terbatas dan agak buruk. Mungkin inilah sebabnya di dunia politik banyak tingkah laku nekat. Bahkan tingkah itu sering terasa seperti sikap orang kalap yang melihat hasil esok hanyalah berupa kegelapan. Kita pun ikut nekat. Ini sudah menjadi pilihan. Tapi, kemudian kita berkeluh kesah seolah teraniaya. Tidak ada orang yang menganiaya kita. Sebenarnya kitalah yang berbuat aniaya terhadap diri kita sendiri. Kita sedang memetik buah tindakan kita sendiri. Contoh yang berasal dari dunia sastra Jawa lisan  kita hanyalah ingin menggambarkan cinta dan pengayoman ayah kepada anak yang sering melahirkan tragedi. Lakon getir ini kita sendiri yang membuatnya. Menurut Anda, bagaimana?

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan