Orang-orang Istimewa – Pribakti B Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Mencari “ orang istimewa “ memang tidak mudah. Di negeri kita selalu terbukti tak begitu banyak orang istimewa yang kita butuhkan. Tak mengherankan jika hal itu tak terpenuhi, media massa tak akan memberitakannya . Orang yang tak memiliki ”keistimewaan” buat apa diberitakan? Lalu diam-diam, syarat pun dikurangi. Ini sebetulnya tak boleh dilakukan. Kita yang masih menghormati “aturan main” merasa malu. Selebihnya, harmoni hidup kita terkoyak-koyak. Ini betul-betul ruwet.
Biasanya kaum akademisi tak mau berlagak sok tahu, tidak ambisius. Dunia ilmu dan etika keilmuan mengajarkan pada kita untuk menjadi agak sedikit rendah hati. Hendaknya hal ini tidak dikurangi karena kekurangan dasar dalam kompetensi akademik kita sudah banyak. Kebodohan sebisa mungkin disembunyikan . Pamer kebodohan itu wujud kebodohan yang sempurna. Kaum santri menyebutnya jahil murakab, kebodohan yang paling bodoh. Kita dianggap memanggul kebodohan itu kemana-mana tanpa sedikitpun merasa malu meski ambisi, keserakahan dan tak tahu malu sering menjadi barang terkutuk.
Sayangnya orang ambisius, orang serakah, dan tak tahu malu di masyarakat kita sepertinya bukan makin berkurang melainkan makin bertambah, bahkan makin banyak saja jumlahnya. Sering kita mencari “orang istimewa” , tetapi yang kita temukan hanyalah remah-remah yang tak begitu berguna. Mencari seorang presiden dan seorang wakilnya – jadi hanya mencari dua orang yang kita anggap dewasa pun repot. Kita hanya menemukan orang yang pupolar secara mendadak, yang dianggap rapi jali, tapi apa gunanya kerapian?
Singkatnya, kita selalu dalam kesulitan. Yang pernah dianggap istimewa , nanti yang terpilih, ternyata sama sekali tidak istimewa . Ini diikuti kemunculan sembarang calon. Begitu banyak orang yang jelas tak memiliki tanda-tanda keistimewaan pun memaksa diri tampil menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka hanya merasa popular dan menjual popularitas. Dalam kasus ini, ada yang secara kebudayaan membuktikan bahwa masyarakat kita suka nekat. Cara pandang dan sikap kita tampak sembarangan. Kita tak lagi memiliki kemampuan mengukur kapasitas pribadi kita. Sudah agak lama kita kehilangan rasa malu kalau urusannya menyangkut jabatan, gengsi dan duit.
Masa lalu yang buruk ditutup dengan kampanye secara besar-besaran agar kita tampak istimewa . Padahal, kampanye tak mengubah apa-apa selain menegaskan bahwa kita berbohong kepada sejarah dan diri sendiri. Orang bohong apa istimewanya? Pengalaman dalam jabatan? Namun, kita kebanyakan “tidak menyadari” bahwa virus-virus tersebut menjangkiti serta menggerogoti “tubuh” dan makin lama makin tidak bisa dicegah. Sebab virus tersebut sudah demikian kuat dan menyebar ke seluruh tubuh dengan begitu cepat, seperti penyakit kanker stadium akhir.
Secara kasat mata, kita melihat kebohongan-kebohongan besar yang dipertontonkan selama ini oleh para oknum di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif tanpa rasa bersalah. Sementara itu, sebagian besar masyarakat kita yang menjadi “korban” kebohongan bisa cepat melupakan dan secara tidak langsung memberi maaf. Kebohongan – kebohongan besar yang di sedang ramai bertebaran di setiap sudut desa dan kota dalam gambar-gambar para calon anggota legislatif. Ditambah jargon-jargon yang berlebihan dan melukai akal sehat, mereka berharap bisa menyabet kursi legislatif dalam pemilu 2024.
Pendeknya, banyak sikap culas, tidak jujur dan korup di negeri ini disulap oleh popularitas yang tak seberapa. Mereka nyalon dengan menipu publik dan bermain untung-untungan. Siapa tahu orang yang pada hakikatnya secara moral bukan apa-apa , secara politik bukan apa-apa, secara birokrasipun bukan apa-apa, tiba-tiba bisa terpilih? Siapa tahu? Ini sikap dan tingkah laku yang merusak kebudayaan dan kehidupan. Orang nekat , yang tak bisa mawas diri lagi, bukanlah orang orang istimewa. Kita mencari orang yang benar-benar istimewa. Yang kita cari belum pernah ketemu. Namun, yang tampak istimewa ternyata hanya gumpalan ambisi dan keserakahan, yang jelas bukan keistimewaan. Sekali lagi, kita merusak kebudayaan. Kita merusak diri sendiri.