Pemilu dan Kiblat Politik
Oleh: Pribakti B
Pemilihan umum adalah momentum rakyat menentukan suara, memilih partai atau tokoh yang layak dipercaya bakal mampu mewujudkan aspirasi politiknya. Dalam memilih , secara umum ita bebas. Kita boleh memilih tokoh dan partai politik mana yang bisa memperjuangkan kepentingan kita. Pemilu bukanlah demokrasi, tetapi demokrasi (modern) tak terbayangkan tanpa pemilu. Di Indonesia, khususnya pers memberi istilah khusus untuk pemilu: pesta demokrasi.
Sepintas lalu menunjukkan ketidakseriusan berpikir. Tetapi kata peribahasa kita ”Bahasa menunjukkan bangsa” pemilu yang kita lakukan sejak tahun 1971 rasanya memang lebih merupakan pesta daripada ”pemilihan umum”. Dan pesta, meski diberi embel-embel demokrasi , tetap saja pesta. Pesta itu hura-hura, sedang pemilu seharusnya pelaksanaan hak politik rakyat untuk menentukan nasibnya; pesta itu sesaat , pemilu seharusnya penanaman nilai-nilai ideal demokrasi; pesta itu hedonistik, pemilu seharusnya cerminan etika politik.
Masalahnya sekarang ini zaman lain. Zaman ketika politikus – terutama politikus baru- mencari perlindungan dari suatu partai politik, tak peduli apakah partai tersebut sesuai wawasan dan aspirasi politik sang politikus. Beda halnya bagi politikus yang memiliki aspirasi politik dan idealisme tertentu. Hari ini , banyak politikus yang pada prinsipnya hanya mencari pekerjaan. Sekali lagi hanya mencari pekerjaan. Titik. Begitu sederhana dan praktis. Pintar tetapi dungu. Realitas tetapi begitu absurd pandangan dunianya. Mereka bisa ikut partai politik mana pun, terutama yang sejak awal kelihatan memiliki potensi besar untuk menang.
Mereka sendiri bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Orang-orang seperti ini bukan politikus yang layak diikuti. Apa gunanya memilih orang yang tak tahu menahu haluan politik perjuangannya serta tak mampu menyusun suatu rencana program lapangan untuk membantu kehidupan warga yang memilihnya – basis konstituennya sendiri? Jangan – jangan mereka pun tidak tahu apa makna konstituen, basis konstituen dan pendidikan politik bagi konstituennya? Jangankan bagi politikus yang baru sekali terjun ke dunia pemilihan legislatif. Politikus yang sudah berpengalaman dan berkali-kali memasuki gelanggang politik seperti itu tetapi tidak tahu haluan politik pun bukan perkara aneh.
Dalam situasi macam ini, partai apa yang harus dijadikan kiblat politik sungguh tidak jelas. Makin lama – dari partai manapun mereka datang – tingkah laku, sikap dan orientasi politik para politikus sama saja. Pada masa orde lama, pemilu memberikan suatu pedoman dasar, kiblat dan orientasi politik yang jelas. Kita diminta memberikan suara kepada suatu partai karena ia tak sama degan partai lain. Orang masih teringat ” nyanyian ” pemandu pemilu yang menggetarkan jiwa dan memberi semangat memilih, yaitu memberi suara kepada yang layak diberikan dan yang layak itu pun nyata keberadaannya. Kita punya pilihan.
Satu hal begitu jelas tercermin pada masa itu; rakyat punya harga diri dan diberi kesempatan meraih harga diri dalam politik bersih. Politik yang punya basis ideologi yang jelas menawarkan orientasi perjuangan yang membuat kita merasa bahwa hidup ini berharga dan di dalamnya masih terdapat begitu banyak hal yang layak kita perjuangkan. Jika mungkin- dan memang harus – sampai titik darah penghabisan pun, pelaksanaan pola politik semacam itu kelihatannya tak begitu merepotkan.
Kita mungkin bahkan menjadi bangga karenanya. Ada yang perlu dibela dalam hidup ini. Ada yang masih terasa penting dan layak menerima pembelaan kita. Dalam pemilu itu kita memberi suatu, kita memberikan kepercayaan kepada suatu partai dan atau seorang tokoh karena mereka layak menerimanya. Dalam pemilu zaman sekarang, kita tahu para tokoh partai bermandikan duit. Sayangnya, duit untuk mandi itu bukan hasil kerja keras mereka sendiri, melainkan hasil yang diraih dan dihimpun pihak lain. Jika duit itu berasal dari kantong swasta atau lembaga pemerintah sendiri apa gunanya kita memberikan suara untuk mereka?
Kita tak lagi sudi memberikan suara yang begitu berharga untuk mereka. Partisipasi politik dalam pemilu pun menurun. Suara golput meningkat. Sikap apatis terhadap politik tak bisa lagi dibendung. Mereka yang apatis bukanlah warga negara yang tidak mengerti politik, melainkan sebaliknya. Sikap apatis mereka bisa dipahami. Jika perlu, malah harus didukung. Apatis merupakan sikap politik yang sehat, realistis dan bertanggung jawab kepada bangsa agar kita tak dijarah para pemimpin serakah, penipu dan pencoleng berpakaian rapi yang bersuara lembut dan berperilaku sopan. Namun pencoleng tetaplah pencoleng. Bagaimana kalau mereka menang? Kita tahu mereka menang, tetapi kita tak perlu mendukung kemenangan mereka. Ini satu cara, satu sikap dan satu jalan keluar yang mungkin buruk.
Lalu , apa ada cara lain, sikap lain atau jalan keluar lain? Ya kita tetap tak sudi memberikan kepada mereka. Kita tidak tahu, tiba-tiba mereka bangkit dengan segenap keserakahan politik, semua siap membeli suara. Memberikan suara-kesukarelaan politik yang sehat-telah dirusak, sehingga kita mogok. Namun mereka tidak peduli. Saat kita mogok, mereka membeli suara. Harga setinggi apa pun tetap mereka beli. Duit ada, mereka bermandikan duit. Apa salahnya membeli?
Salahnya , kita mengubah roh kehidupan politik, bahkan kita membunuhnya. Politik memberi pada zaman dahulu merupakan tanda bahwa kita rakyat berdaulat dengan jiwa mandiri dan otonom. Sedangkan politik membeli menegaskan kedaulatan kita sebagai warga negara, sebagai pribadi dengan jiwa mandiri dan otonom, diubah menjadi seliter minyak goreng, 10 kilogram beras, beberapa bungkus mie instan, selembar kaus buruk dan beberapa ratus rupiah yang diperoleh tak harus dengan bekerja keras seperti biasanya. Pergeseran dari memberi ke membeli suara dalam pemilu selalu berarti sebagai momen penghancuran nilai warga negara dan kemanusiaan kita. Menurut Anda, bagaimana?
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin