infobanua.co.id
Beranda Opini Etika Berpolitik dan Demokrasi

Etika Berpolitik dan Demokrasi

Pribakti B

Oleh: Pribakti B

 

 

Pada konteks keseharian, kehidupan politik kita memunculkan beragam wujud perilaku- pertama dari kalangan yang berkuasa – yang patut dicermati dan perlu dijelaskan. Perilaku kekuasaan yang cenderung ke penyimpangan, misalnya , belakangan ini tampak lebih menonjol. Hasrat menyimpang dari elite penguasa dapat berkembang menjadi semacam tradisi dan dianggap biasa jika hal itu tidak dikontrol terus menerus.

 

Ketiadaan oposisi dalam politik kita – apalagi ketika parlemen dalam prakteknya nyaris tidak menjalankan fungsi kontrol karena mayoritas berada dalam koalisi pemerintah-membuat penguasa seolah tanpa kendali melaksanakan kebijakan-kebijakan sekalipun tidak sedikit dari kebijakan-kebijakan itu mendapat penolakan dari publik. Banyak pemegang amanat negeri ini bicara, berperilaku dan bertindak semaunya. Keputusan mereka membuat rakyat resah. Bukannya makin menyelami dan memahami kehendak rakyat dengan keputusan-keputusan yang menyejukkan dan mencerahkan, para penyelenggara negara ini malah membuat dahi rakyat berkerut.

 

Demokrasi pun seolah sekadar kuda troya kekuasaan , kuda troya partai politik, kuda troya kaum pemodal (yang rakus), kuda troya oligarki (yang buruk). Wajah muram demokrasi terlihat jelas antara lain ketika pemilihan umum. Pemilu yang terlalu dilumuri oleh uang (money politics) dan perilaku curang, bukan pemilu yang mengutamakan kompetisi yang sehat dan fair. Pilpres dan pileg cenderung sekadar pesta politik yang mahal.

 

Padahal berdemokrasi adalah dambaan hampir setiap manusia. Dengannya manusia bisa memperoleh hak-haknya sebagaimana fitrahnya. Namun yang menjadi masalah demokrasi di negeri kita banyak dipahami sebagai kebebasan bertindak, bukan kebebasan berpikir dan berpendapat. Akhirnya, praktek demokrasi mendekati anarki. Demokrasi menjadi tidak sehat alias tidak waras.

 

Dalam pandangan saya, berpolitik itu sudah pasti bertujuan untuk memegang jabatan pemerintahan, baik di level bawah, menengah maupun atas. Tidak ada orang berpolitik apalagi sampai mendirikan partai politik yang bertujuan hanya untuk menyalurkan hobi atau iseng-iseng belaka. Namun , berpolitik tidak boleh sembarangan atau semau gue. Sama seperti kegiatan lainnya, berpolitik juga dibatasi oleh etika yaitu norma-norma yang membolehkan atau melarang suatu tindakan dan perilaku berpolitik.

 

Etika berpolitik atau etika politik itu tidak hanya mencakup sopan santun dalam melakukan kegiatan politik semisal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam berkampanye. Juga termasuk etika politik adalah niat yang terkandung di dalam hati ketika seseorang melakukan aktivitas politik. Orang yang secara tulus menyeburkan diri ke kancah politik dengan tujuan untuk memperbaiki situasi , kondisi bangsa dan negara adalah orang yang memiliki etika politik. Sebaliknya , politisi yang terjun ke dunia politik, ikut partai politik, dan mendaftarkan diri pada jabatan tertentu hanya demi kepentingan dirinya dan keluarganya, tidak bisa disebut memiliki etika politik.

 

Memang tidak akan ada orang yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat seorang politisi ketika memasuki dunia politik dan kepartaian. Publik baru bisa menebak ketika niat itu sudah menjadi kenyataan. Kita tidak akan mampu mengetahui niat seorang calon wakil rakyat, calon presiden, calon gubernur , calon bupati, calon walikota dan lain-lain saat mereka berkampanye. Apalagi berkampanye itu adalah masa menebar janji yang belum tentu ditepati nantinya. Kita baru akan tahu apa niat mereka yang sebenarnya ketika mereka sudah menjabat.

 

Itulah sebabnya banyak dari kita kemudian merasa dikhianati atau ditipu, tepatnya tertipu, saat tahu dan merasakan bahwa perilaku, tindakan dan kebijakan pejabat yang kita pilih ternyata jauh dari janjinya ketika berkampanye. Sejak gerakan reformasi digulirkan pada tahun 1998, kita telah mengalami beberapa  kali pemilu, pilpres dan pilkada. Dengan demikian, kita juga sudah mengalami beberapa kali tertipu oleh janji para politisi yang tidak ditepati ketika mereka sudah memegang jabatan.

 

Kecewa sudah tentu, tapi masalahnya kita belum tahu cara apa yang paling efektif untuk memberi peringatan kepada pejabat yang ingkar janji atau keliru dalam membuat dan melaksanakan kebijakan. Bagaimanapun pejabat yang tidak aspiratif memang harus terus diingatkan agar mereka lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri dan partainya. Ada etika berpolitik.

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Bagikan:

Iklan